Wednesday, April 18, 2012

"The Bloody Mirror" (Chapter 5th)


   


     Buru-buru Paris berlari menuju kamar mandi itu.
“Ah~” Paris meringis. Kakinya berdarah karena tak sengaja menginjak pecahan kaca. Dilihatnya cermin itu sudah retak, dan sebagiannya lagi kini sudah hancur berantakan.

Paris kembali mengatur langkahnya, ia mencoba berhati-hati agar tidak terinjak pecahan beling sialan itu
“Pergi...atau mati!” Betapa terkejutnya Paris tatkala ia mendapati sebuah torehan darah di bagian cermin yang masih utuh tersebut. Dahinya berkerut, lalu menyimpulkan senyuman konyol.
“Benarkah? Semudah itu kalian mengusirku? Hah.. kalian pikir aku takut?” Paris menggumam. Paris mengira ini semua pekerjaan teman-teman ‘slutty bitch’ mendiang Nicole.
“Jangan macam-macam, atau kalian akan kubuat seperti Nicole!” papar Paris sedikit bercanda.
Whoooossssh...
Mendadak jendela kamar mandi terbuka dengan keras, membuat Paris terlonjak kaget. Angin kencang begitu deras mengibaskan rambut panjangnya. Jantungnya kembali berdegup keras. “A..apa aku salah bicara?”  Paris ketakutan.
Ia sengaja tak membalikkan badannya. Namun tetap saja, Paris kembali melihat sosok tubuh janggal yang terpantul di cermin retak itu. Paris mengenali itu! Sosok perempuan yang pernah muncul dalam mimpinya.
“Oh Tuhan!” desis Paris gemetar. “A..apa yang kau inginkan??!” Paris mencoba mengumpulkan seluruh nyalinya yang masih tersisa.
Sayangnya, sosok itu terus berjalan mengarah Paris.
Lari..ayo cepat lari!.
Sekuat tenaga Paris menderapkan kakinya menuju kembali ke kamar.
 “Ahk~” Lagi-lagi kakinya tak sengaja menginjak kepingan kaca itu. Akan tetapi, Paris tak menghiraukannya ia tetap saja menyeret kedua kakinya yang terasa kaku itu.
“Pergi...atau mati!”
TULISAN ITU. Tulisan itu kini berada dimana-mana. Tembok kamar, layar televisi, lemari, pintu. Sialan!! Apa maksud semua itu?

Paris mulai cemas. Dan kini hatinya sangat yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Bukan... ini bukan sekedar kebetulan.
“BRAKKHHH...!”
Lemari yang tepat berada di depan Paris berdiri roboh. Jendela-jendela ruangan itu terbuka lebar ditambah angin menderu-deru di balik kibasan tirai tipis itu.
When you’re all alone
Just take my hand
Hold on
Call my name, and i’ll make you strong
Don’t regret to know me
Don’t stay around
Because i’m on your side
To help you, killing for someone...

Lagu itu kembali memenuhi indra pendengaran Paris.
“Ke..kenapa lagu itu?” desis Paris panik.


“Aku harus lari dari sini!!!” tekad Paris sedikit gentar seraya menyeret kakinya yang kini sudah berlumur darah akibat pecahan beling tadi.

"BRAKKKKH.."
Tepat disaat Paris hendak melarikan diri tiba-tiba pintu satu-satunya menuju keluar kamar itu terkunci rapat. 
"Ahk..sial!" dengus Paris dengan nafas yang memburu.

Dengan asa yang mulai menipis, Paris terus menerus menggedor-gedor pintu antik itu. "Siapapun, tolong bukakan pintu ini..." pintanya dengan suara yang mulai mengecil. Namun, untuk ke sekian kalinya sesuatu yang entah bagaimana bentuknya kini muncul dengan gontaian kaki yang tampak aneh. Tubuhnya ringkih dengan dibalut kulit yang terlihat keriput dan kasar. Makhluk itu menyeringai janggal. 
Paris mencoba melontarkan vas bunga keramik yang berada disampingnya. Sial, makhluk itu tetap tak bergeming dan terus melangkahkan benda yang..mungkin "agak" menyerupai sepasang tungkai kaki.

Paris segera meraih gagang pintu itu, berharap daun pintu itu dapat terbuka lagi. "CKRAKK..." Ahh..berhasil! Pintu pun tak sengaja terbuka. Angin nampaknya berhembus semakin deras meraung-raung menembus jendela kamar. Tak peduli, makhluk itu nampaknya seperti orang bodoh berjalan menuju tempat Paris berdiri.

Cepat-cepat ia berlari sekencang mungkin. Paris tak menghiraukan meskipun telapak kakinya masih bersimbah darah akibat pecahan beling sialan itu. Dengan dibekali sisa tenaganya, Paris berlari menuju kamar khusus rektor kampus itu.

"Nyonya Brighton... kumohon buka pintunya. Nyonya?? Nyonya...?" panggil Paris bertubi-bertubi dengan nafas yang masih tersengal-sengal. 
"Ada apa malam begini, Paris??" Sedetik kemudian muncul perempuan paruh baya berkacamata tebal dengan rambut keriting pirangnya. 

"Kau tak akan percaya, Nyonya. Dan..." Entah apakah karena takut atau sebab lainnya, tangisan Paris membuncah. "Aku yakin, kau tak akan mempercayainya" Paris mengulangi ucapannya.

Nyonya Brighton semakin tampak bingung. "A..apa maksudmu?" Ujarnya dengan kedua alis terangkat.

Belum sempat Paris menjelaskan semuanya, mendadak datang segerombolan perempuan "norak" itu. "Hey, Nyonya Brighton... dan, huh..Paris? Untuk apa kau berada disini?" tanya Alexa dengan tatapan penuh selidik.

"Wah, kau menangis ya?" ejek Shally cengengesan.

"Nyonya, ada apa dengan bocah ini?" Alexa mengalihkan pandangannya.

Sedangkan Nyonya Brighton hanya mengangkat kedua bahunya saja. "Entahlah, kau tanya sendiri saja" sahut Nyonya Brighton menggeleng-geleng kecil.

Cepat-cepat Paris mengusap seluruh sisa airmatanya. "Ti..tidak ada apa-apa..." sahut Paris sedikit acuh lalu berbalik menuju kamarnya kembali.

Alexa tercenung heran. "Kenapa anak itu?" tanyanya bingung, lalu tertawa kecil.

Paris mendengus kesal. Ia ingin sekali membuktikan bahwa hal itu memang ada!
"Paris~" 

Paris tersontak kaget. Ah~ ternyata Aidan. 

"Kau malam-malam begini belum juga tidur?" tanya lelaki itu seraya mengusap-usap rambutnya yang basah dengan handuk mungilnya.
"Jadi... Apa itu mengganggumu?" balas Paris ketus. Aidan hanya mencibir lalu meraih gagang pintunya. 
"Oh!!" Aidan sengaja membuat Paris terperanjat. Dasar bocah sialan! Batin Paris geram.
"Aku tahu..." Aidan tersenyum aneh seraya melangkah mendekati Paris. "Aku tahu...kau tak bisa tidur karena terus memikirkan aku. Benar kan?" goda Aidan dengan mencondongkan wajahnya ke arah Paris.
Dengan segera Paris mendorong wajah konyol Aidan agar menjauh darinya."Ini sudah malam, hentikan tingkah konyolmu!" desis Paris campur aduk, lalu kembali ke dalam kamarnya.
"AHAHAHAHAH" Aidan tertawa lepas. Ia terus terkekeh-kekeh bagaikan anak kecil yang baru saja medapatkan terompet tahun barunya. Benar-benar konyol!

Sejenak Paris ikut menahan tawanya karena ulah aneh Aidan tadi. Tapi itu hanya berlangsung sekejap. Paris merasakan atmosfer yang tak menyenangkan dan...mungkin bisa dibilang tampak asing dari seperti kamar asrama biasa.
Paris mengehela nafasnya. Tulisan itu!!! Tidak, itu sudah menghilang. Lemari yang tadinya sempat "roboh", yang  entah bagaimana caranya kini sudah kembali berdiri seperti semula. Ruangan yang tadinya sudah terlihat sungguh dan sangat berantakan, kini sudah kembali tertata rapi. A..apa maksud semua itu?
Malam itu memang menyisakan suatu hal yang...yaa entah apa lah. Pukul 01.27. Suasana asrama kini sudah semakin sepi. Memang, masih sedikit terasa berisik karena seperti biasa, Alexa dan dedengkotnya itu masih sibuk berajojing dengan musik-musik aneh tanpa peduli waktu. Mrs. Gordon, si penjaga asrama pun sudah capai mengingatkannya. Namun, Paris dapat merasakan bahwa malam ini mulai sepi karena mungkin tak ada "sesuatu" atau "seseorang" yang terus menerus menggedor pintu kamarnya seperti biasa. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya terganggu.
Paris merebahkan tubuh indahnya ke atas ranjang itu. Ia berusaha untuk tak terlalu memikirkan hal tadi. Ya begitulah Paris, ia menganggap apapun di dunia ini adalah hal yang "tak terlalu" besar, yang mungkin memberinya sedikit kesempatan untuk tak membuang-buang waktu guna memikirkannya.
Kini Paris sudah terlelap. Benar-benar terlelap.

When you’re all alone
Just take my hand
Hold on
Call my name, and i’ll make you strong
Don’t regret to know me
Don’t stay around
Because i’m on your side
To help you, killing for someone...

Paris mungkin sudah terlalu jauh melintasi alam bawah sadarnya. Sekarang, sepertinya ia kembali ke masa lalu—entah di era kapan—dan lagi-lagi ini bersetting kampus!

"Siapa gadis itu?" gumam Paris bingung tatkala mendapati seorang dara yang nampaknya seusia dengannya. Tanpa disadari atau tidak, Paris dan gadis itu memiliki wajah yang serupa. Yaa sekali lagi, SERUPA.
Paris terkecoh. Apakah itu dirinya, atau orang lain yang memang kebetulan memiliki rupa yang sama. Paris terus mengamati gerak-gerik gadis itu. Dan Paris tahu, bahwa gadis itu dulu pernah menuntut ilmu di kampus ini. 
"Hai Noel...!" sapa seorang gadis dengan tatanan rambut gothic kepada gadis-yang-mirip-Paris-itu.
Noel? Itukah nama gadis tersebut? Batin Paris semakin penasaran. Ia yakin, gadis itu sangat berkaitan dengan hal janggal yang akhir-akhir ini sering menghantui dirinya.

Tak lama gadis yang diketahui bernama Noel itu menghampiri seorang pria bergaya ala rapper dengan bibir mengapit sebatang rokok. 

Sayangnya, Paris tak dapat mendengar percakapan mereka dengan jelas. Tunggu! Paris baru saja mendapatkan satu petunjuk. 
Yep, benar ruang fakultas desain grafis. Fakultas Aidan! Tidak salah lagi. Paris mendapati Noel dan teman-temannya duduk bercengkerama tepat di koridor ruangan itu. 

Misi selanjutnya, Paris harus mencari nama lengkap gadis itu. Tapi bagaimana caranya? Bertanya langsung pada gadis berambut coklat itu? Sedangkan jasad Paris kini sedang transparan, dan kemungkinan kecil gadis itu dapat melihatnya.
Tiba-tiba sepasang bola mata Paris tertuju pada sebuah papan nama yang sedang digenggam pria rapper itu. Baiklah, mungkin dengan ini bisa mempermudah langkahnya. Pikir Paris.
"Nomor urut 16, Noel R. Anderson... ah~"
Belum sempat Paris mengintip papan nama itu, lelaki itu segera berlalu sembari menenteng benda tersebut. Siaaaaaal.
Kampus berubah sepi. Tak ada siapa-siapa disana. Noel?! Gadis itu dimana? Paris segera mengedarkan seluruh pandangannya hendak mencari kemana perginya gadis misterius itu. 

"BRAKKHHH...KRAAAKKKH!"
Paris dapat mendengar dengan jelas suara itu. Tanpa berpikir panjang lama lagi, gadis bermata biru itu segera berlari melihat apa yang terjadi.

Dan...


TRAGIS. Seorang gadis jatuh dari balkon asrama dan sialnya lagi Paris tak tahu persis dari tingkat berapa gadis itu terjatuh. Namun sepertinya cukup parah dengan kepala dan muka yang kini sudah...
Astaga, mimpi ini hampir sama dengan bayangan dimana Paris masih berada dalam acar pemakaman Nicole. "Gadis yang mati terbunuh dengan modus terjatuh dari...balkon," dan waktu itu, korban kekejian itu adalah Chloe! Lantas, Paris menjongkokan tubuhnya untuk memastikan siapa gadis ini.

"A..apa-apaan ini...?!!" Paris tercengang bercampur histeris. Gadis ini, gadis yang bertatanan ala gothic yang tadi bersama...Noel. Ada apa dengan gadis ini? Kenapa gadis ini mati terbunuh? Noel? Apakah ini berhubungan dengan Noel?

Paris hendak menoleh ke arah belakang. Diluar dugaan, Noel sudah berada tepat dibelakang punggung Paris dengan pisau dapur yang kini ia genggam. Belum sempat Paris menghindar, gadis itu segera mengayunkan pisaunya ke arah Paris, dan tentu saja....

"AHHHHHHHHHHHHHHHH~"
Paris terbangun dari tidurnya. "Noel..." desis Paris dengan lirihnya. Kini badannya basah oleh peluh dingin, nafasnya terus memburu. Pukul 03.49 dinihari. Masih tampak gelap dengan udara dingin menyelimuti.
                                                               XOXOXOXO

 
    "Ayah..." Paris menelepon ayahnya pagi itu, ia ingin menceritakan semuanya pada Michael. Ia tahu, hanya Michael lah orang satu-satunya dapat percaya dengan ini, selain Aidan dan Chloe.

   "Iya Parry?" sahut Michael dari seberang sana.

   "Ayah, kau mungkin tak percaya dengan ini. Tapi sungguh ayah, aku merasakannya!" 

   "Apa maksudmu, Nak?" jawab Michael tak paham.

   "Begini..." Belum sempat Paris meneruskan pembicaraannya, keburu Chloe memanggilnya dari luar kamar untuk mengajaknya berangkat ke kampus sebentar. Paris berdecak kesal.

"Ma..maaf  ayah, sepertinya nanti saja aku ceritakan padamu," cepat-cepat Paris memutuskan hubungan telfonnya dan segera keluar kamar.

Seperti biasa, di kelas Paris hanya menyendiri dan terkadang orang-orang disekitarnya mencemoohnya karena kasus kematian Nicole tempo hari.

"Hey b*tch, masih berani kau muncul?!!" hardik Waggos, pria kulit hitam dengan tindikan di lidah itu. 
"Memang kenapa?" sahut Paris acuh tak acuh.
"Kenapa? HAHAHA! Kau masih bertanya kenapa? Dasar pembunuh tidak tahu diri!!!"
Paris benar-benar sakit hati dengan perkataan mulut sampah itu. Namun, ia lebih memilih diam, diam, diam dan diam entah sampai kapan ia harus diam.
Sedetik kemudian, Ms. Hoang,  dosen  blasteran American-Vietnamese itu masuk ke kelas membuat seisi ruangan diam tak berkutik. Tatapan sangar dari mata sipit perempuan itu mampu menyihir seluruh mahasiswa sekampus untuk segera mati berdiri. Kecuali Paris. Mata beningnya itu terus saja menelusuri apa-apa yang berada diluar jendela itu.
Mendadak, Paris menangkap seorang gadis sedang berdiri dibawah pondok yang berhadapan dengan jendela kelas. Paris yang kebetulan duduk di pojok, sampingjendela dapat melihatnya dengan jelas. Lagi-lagi dengan rasa penasaran yang tinggi, Paris ingin tahu siapa gadis itu. Kenapa disaat jam begini gadis itu masih saja diluar kelas. Apakah dia bolos? Atau dihukum? Atau...
Bukan, sepertinya gadis itu bukan mahasiswa sini.  Gadis itu masih tampak terlalu kecil untuk menjadi mahasiswi disini. Dan, gadis itu mungkin...
Paris berusaha membongkar kembali seluruh memori ingatannya. Kalau tidak salah, gadis itu juga pernah berada disitu dan Paris melihatnya. De javu. Mungkin Paris mengalami sindrom yang hampir mirip dengan sixth-senses itu. Entahlah...
Gadis itu mengangkat kepalanya, wajahnya tampak begitu pucat melebihi pucatnya pengidap vitiligo ataupun albino. Refleks saja gadis mungil tersebut balas menatap Paris, jadi kesimpulannya Paris dan gadis itu saling bertemu pandang. Tatapan Paly--sebutan Paris kepada gadis kecil itu--sangat dingin, walaupun sinar matahari menerpanya kala itu. Mata karamelnya sangat tajam membuat Paris sedikit bergidik, namun itu tak mebuat Paris melepaskan pandangannya dari gadis berponi rata tersebut. Lamat-lamat Paris mengamatinya. Rambutnya coklat gelap, panjang sebahu dengan poni rata menutupi alisnya. Bibirnya tipis namun pucat. Umurnya mungkin masih sekitar 14 tahunan.
"NONA JACKSON!!"
Sontak Paris terlonjak dari duduknya mendengar betapa dahsyatnya bentakan Ms. Hoang yang menggelegar ke seluruh penjuru ruangan. Membuat jantung disetiap orang yang mendengarnya berpacu hebat. 
"Apa yang kau lihat diluar sana??!" tegur wanita Vietnam itu sinis dengan suara beratnya.
"Itu...tadi, aku melihat seorang mahasiswi berdiri dibawah pondok tersebut dan aku penasaran apakah dia sengaja bolos dari kelasnya,atau..." 
"Mahasiswi? Siapa?!" potong Ms. Hoang.
Paris segera menunjuk ke arah luar. Dan begitupun dengan Ms. Hoang, ia mencondongkan kepalanya ke luar jendela. "Mahasiswi mana yang kau maksud?"
"Gadis berambut coklat disana..." jawab Paris cepat.
"Tak ada siapapun disana...!! Apa kau ingin menipuku, Nona Jackson?!!" bentak Ms. Hoang ganas. 
Paris menggeleng cepat. "Tidak...percayalah padaku, tadi itu.." Namun sekeras apapun Paris mengelak, tak ada kata ampun bagi Ms. Hoang.
Sial. Secepat itu, gadis pucat tersebut menghilang. Kemana dia? Siapa dia? untuk apa dia disini?
"Noel R. Anderson" mendadak ingatan Paris terputar kembali menuju mimpi dimana ia berjumpa dengan gadis yang serupa dengannya. Paris makin tak mengerti, kenapa hanya dia yang mengalami kejadian gila itu? Kenapa bukan yang lainnya saja? Kenapa harus Paris?
                                                                  ---oooOOooo---
  Noel. Nama itu terus berputar-putar memenuhi kepala Paris, membuat konsentrasi belajarnya terganggu. Rasanya, ia ingin cepat-cepat menyelesaikan kelas mata kuliahnya hari ini.
  Setengah jam kemudian. Mata biru Paris tak henti-hentinya memaku ke arah jarum jam tangan yang masih melingkar di tangan kirinya itu.
 “Okay, mungkin jam untuk kelas hari ini sudah berakhir. So, selamat jumpa semuanya...” papar Ms. Hoang dengan nada datar seraya begitu saja meninggalkan ruangan. Bukan hanya Paris saja, mungkin hampir semuanya sangat menginginkan Ms. Hoang cepat-cepat meninggalkan kelas dalam waktu sekejap.
Tak lama, Paris mendapati ponselnya berdering keras dari dalam tas mungilnya.                                                    “Halo...? Ya, Chloe?”
“Paris, kuharap kau mau menemaniku hari ini...pleaseee...” rengek Chloe dari seberang sana.
“Menemani kemana?” tanya Paris sembari turut meninggalkan ruang kelas.
“Ke toko buku. Begini, tadi aku dapat tugas dari Mr. Philips, dan kebetulan aku butuh buku panduan untuk mengerjakannya. Mau ya???” suara Chloe terdengar sangat memelas.
Paris tersenyum dengan sepasang kaki yang masih melangkah. “Baiklah, aku tunggu di lantai bawah nanti siang, setuju?”
“Tentu...!” seru Chloe. Lalu sambungan telepon terputus.
Sejurus kemudian, Paris kembali merasakan atmosfer yang tak mengenakkan. Fakultas Desain Grafis. Sengaja Paris menghentikan langkahnya. Matanya kembali mencari-cari, apakah gadis misterius itu masih berada di sekitar sini.
Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dari belakang. “Ah~” Paris tersentak kaget.                                                        Ditengoknya, cihh..lagi-lagi Aidan. Sungguh menyebalkan!
“Mau apa kau...?!” tanya Paris sedikit ketus sedangkan Aidan hanya berusaha menutup kecanggungannya dengan menunjukkan sederetan giginya yang putih bersih itu.
“Ng...Paris,” ucap Aidan seraya menggaruk-garuk kepalanya. “Barusan aku mendapat upah dari hasil kerja sampinganku, jadi mau tidak ku traktir siang ini?” lanjutnya.
Paris mengernyitkan dahi mulusnya itu. “Kerja sampingan?”
Aidan mengangkat kedua alisnya. “Iya, di toko elektronik yang ada diseberang jalan itu...” terangnya ringkas.
Paris mengangguk-angguk. “Oh ya, ngomong-ngomong apa tawaranmu tadi?”
Muka Aidan mendadak bersemu merah, membuat Paris heran bercampur geli. “Mmh..sebagai teman, aku mau mentraktirmu siang ini. Mau?” pungkas Aidan sedikit malu-malu.
“Aduh, sebenarnya aku mau. Tapi, aku juga sudah punya janji dengan seseorang siang ini. Bagaimana?”
Tampak jelas, air muka Aidan melukiskan sedikit rasa kecewa. “Seseorang? Laki-laki?” tanya Aidan ingin tahu.
“Oh bukan...” jawab Paris memastikan. “Chloe, kau tahu?”
Aidan sedikit lega. Lantas, ia tersenyum begitu lebar. “Sebenarnya aku ingin berdua saja denganmu, hehe...” ujar Aidan cengengesan. “Ya sudahlah tak apa, kita kan bisa bertiga berangkat bersama-sama. Biar nanti naik mobilku saja...” tawar lelaki berambut spike itu antusias.
Paris hanya mengangguk pertanda ia setuju. “Oh ya, semalam kenapa kau?” lagi-lagi Aidan selalu ingin tahu saja apa yang dilakukan Paris.
“Se...semalam? Aku hanya...mungkin susah tidur,” jawab Paris berbohong.
Otomatis Aidan menatap Paris penuh selidik. ”Jangan pernah berbohong padaku,”
Paris terkesiap “Si...siapa yang berbohong?”
“Sudah, aku bisa melihat dari matamu. Cepat ceritakan apa yang kau alami semalam?” pinta Aidan serius.
Dengan terpaksa, Paris menceritakan apa yang ia alami semalam. Dimulai dari cermin yang tiba-tiba terpecah berkeping-keping dengan sendirinya hingga munculnya “sosok” itu. Tanpa disadari, mereka berdua masih berdiri tepat di depan ruangan fakultas desain grafis. Tempat dimana...Paris berjumpa dengan Noel. Gadis yang serupa dengannya. Usai mendengarnya, Aidan malah bergidik.
“Paris, kau harus tahu...kalau kamarmu itu sebenarnya...” Aidan sengaja memutus perkataannya, membuat Paris bertambah tegang bercampur suasana kampus yang semakin tampak sepi. Deru angin yang melintaspun dapat dirasakan dengan mudahnya.
“A-ada apa dengan kamarku?” Sepertinya Paris mulai terbawa suasana.
PLETAK! Aidan malah menjentikan jarinya dengan penuh kemenangan. “Gotcha! You’re too easy, Pary!” ucapnya cengengesan.
“Sssh~ diam Aidan!” tukas Paris setengah berbisik. Matanya membelalak tajam. Tampaknya gadis bermata biru itu baru saja mendapati seseorang yang mungkin “mengintai” mereka berdua.
“Apa?? Kau ingin membalasku? Tidak, tidak...aku tak sebodoh itu,” tantang Aidan enteng.
“Aku bilang diam!” suruh Paris lirih seraya terus mengatur langkahnya menuju ruang fakultas yang terlihat begitu kuno. Maksudnya bangunan-yang-dapat-membuat-punuk-bergidik itu terlihat sedikit agak menyeramkan jika kita mengunjunginya sekitar jam 4sore seperti saat ini. Berbeda dengan suasana pagi hari yang penuh keramaian dan bising dengan teriakan anak-anak badung sekelas Aidan.
“Paris, apa yang kau lakukan? Jangan bercanda...!” papar Aidan sedikit memelankan suaranya.
Namun, Paris tak menyahut. Tetap saja ia masuk ke dalam ruangan itu tanpa menghiraukan Aidan. Buru-baru pria dengan sepasang mata coklat karamelnya itu menyusul Paris dengan sigap, akan tetapi terlambat...
BRAKKHH!! Seketika pintu kelas tersebut terkunci, sedangkan Paris masih berada didalam ruangan. “AIDANNNN!” jerit Paris refleks. “Jangan macam-macam kau, cepat buka!!”
“A-aku tidak melakukannya. Sungguh...!” jawab Aidan dari luar seraya mencoba untuk membuka kenop pintu.
DEG! Paris mendelik. Jantungnya melemas. Disini sangat gelap, dan...begitu menyeramkan. Paris merasakan peluh dingin kembali mengucur deras membasahi punggungnya. Di saat yang bersamaan, Paris menangkap suara derap kaki seseorang yang mungkin hendak menuju ke arahnya.
“Aidan...ku-kumohon buka pintunya~” suara Paris begitu lirih dan bergetar sehingga angin pun dengan mudah menelannya.
“Tenang Paris! Aku tak kan membiarkan kau berada disana!” ucap Aidan. Tak sengaja matanya mendapati sebuah linggis panjang yang tergeletak di samping ruangan. Entah itu milik siapa, dan mungkin itulah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan Paris. Mencongkel paksa pintu tersebut!
Langkah kaki itu terdengar semakin mendekat membuat nafas Paris semakin sesak. Ia tak tahu harus berbuat apa. Disini sangat gelap, pandangannya seakan kabur seketika. “Aidan~” panggil Paris tersengal-sengal. “Aidan~ k..kau bisa dengar aku?” ulangnya dengan merapatkan tubuhnya ke daun pintu itu. Kini Paris merasakan tubuhnya basah oleh peluh, dan lidahnya kembali terasa kelu. Ia tahu makhluk itu sedang menghampirinya.
Derap langkah itu terdengar jelas. Apakah yang akan dilakukannya? Membunuhnya? Memutilasi Paris hidup-hidup? Membawanya ke suatu tempat?
Segera saja Paris memicingkan kedua penglihatannya. Aidan? Benar... Paris benar-benar melihat Aidan sudah berada di hadapannya. “Aidan, darimana kau masuk??” tanya Paris heran bercampur lega.
Namun masih saja. Itu terasa janggal. Tatapan lelaki yang biasanya hangat kini terlihat sangat kosong dan dingin. Bibirnya kering dan pecah-pecah. “Aidan, apa yang sudah terjadi padamu?” tanya Paris sekali lagi seraya hendak menyentuh pipi makhluk yang menyerupai Aidan tersebut.
“BRAKKH!” Dengan cepat Aidan segera menarik lengan Paris keluar ruangan tersebut tatkala pintu berhasil ia buka dengan paksa.
“A-Aidan...? Kau?!” Paris bertambah heran melihat lelaki bertubuh tegap itu merangkul dirinya. Paris melepas dekapan tersebut, lantas menatap Aidan lekat-lekat.
“Bukannya kau tadi juga berada di dalam?” tanya Paris sekali lagi dengan airmuka getir.
“Bodoh! Jika aku didalam, siapa yang membuka pintu ini?” tukas Aidan sedikit jengkel.
Paris tertegun. “Ja..jadi?” Pandangan Paris berubah nanar. Ia tak mampu lagi menjelaskan semuanya sekarang. Tanpa disadari, bulir airmatanya kembali memancar.
Aidan yang berdiri tepat dihadapan Paris itu pun jelas saja kembali merangkulnya. “Tenanglah, aku akan membantumu...” bisik lelaki berhidung mancung itu lalu mengecup lembut rambut coklat Paris.
                                                               ~~oooOooo~~
     “Jadi kau berpikir bahwa ada sesuatu yang aneh tinggal di kamarmu itu?” tanya Aidan sembari menyeruput segelas lemon-tea yang baru ia pesan.

     “Entahlah. Aku pun benar-benar tak mengerti kenapa harus aku yang mengalami semua ini? Aku datang kesini hanya ingin melanjutkan pendidikanku saja, dan tak sedikitpun aku berniat untuk mengganggu mereka...” papar Paris panjang lebar lalu mengusap keningnya.

  “Mereka?” Aidan mengerutkan kedua alisnya. Paris mengangguk.
“Setiap hari saat aku berada didalam kelas, kau tahu...aku selalu melihat seorang gadis berusia sekitar 14 tahun dengan wajah pucat dan rambut sebahu serta poni yang menutupi alisnya. Ia setiap harinya duduk di rumah pondok belakang fakultasku itu...” jelas Paris. “Dan lebih gilanya hanya aku yang dapat melihat anak itu...” lanjutnya samar.

Aidan bingung sekaligus penasaran. “Benarkah? Maksudku, aku juga pernah sesekali berjumpa dengan gadis yang persis dengan apa yang kau sebutkan tadi. Tapi itu dulu, sekarang pun aku tak pernah melihat anak itu lagi,” sahut Aidan menghabiskan minumannya.

“Pernah berjumpa? Dimana tepatnya?” tanya Paris menggebu-gebu.

“Mmh...kalau tidak salah di taman samping fakultas kesenian. Namanya Leona Ryder Anderson, rumahnya berada di sekitar kampus kita.” Tutur Aidan seingatnya.

“Leona? Lalu, kapan terakhir kali kau melihatnya?”

“Sekitar setengah tahun lalu. Ada yang bilang anak itu sudah pindah ke kampung halamannya, namun ada juga yang bilang sebenarnya gadis itu sudah meninggal dibunuh oleh kakaknya sendiri. Itu pun sampai sekarang masih menjadi desas-desus mahasiswa Blackburn College ini...” terang Aidan serius.

Mendengar penjelasan tersebut tiba-tiba saja terlintas dalam benak Paris akan mimpinya dimana ia melihat Noel hendak ingin membunuhnya. “Anderson? Apa yang kau maksud saudara perempuan Leona itu Noel?”
Aidan terkesiap mendengar pertanyaan Paris barusan membuatnya terdiam sejenak. “Darimana kau tahu tentang Noel?” tanya Aidan samar.

Paris heran melihat perubahan sikap Aidan yang secara mendadak itu. “Aku melihat gadis itu didalam mimpiku.” Jawab Paris singkat. “Aidan, kumohon jika kau mengetahui apa yang sebenarnya menyebabkan semuanya itu terjadi...tolong, ceritakan padaku~” pinta Paris agak mendesak.

Aidan menghela nafasnya dalam-dalam. “Paris, aku sarankan sebaiknya kau pergi dari sini saja dan kembali menjalani kehidupanmu seperti sediakala. Biarkan aku yang menyelesaikan semua ini...” tukas Aidan sedikit janggal.

Paris hanya bisa mengernyitkan kedua alisnya, melontarkan tatapan bingung ke arah lelaki bermata karamel tersebut. “Apa yang kau bicarakan?”

“Sebaiknya kau telfon ayahmu, dan pulanglah...”

Paris menggeleng tak mengerti. “Aidan, ada apa denganmu?”
Tiba-tiba Aidan menggenggam tangan Paris erat-erat. “Kau dengar aku? Sebaiknya kau pulang, karena aku tak ingin melihatmu mati konyol disini,” pinta Aidan bergetar. “Mereka mengintaimu, Pare...”

“Me-mengintaiku? Kenapa?” Paris semakin heran dengan ucapan Aidan yang terkesan berbelit-belit.

Dengan sigap Aidan merampas telpon selular yang masih berada di genggaman Paris, lantas jari lentiknya pun menekan tombol-tombol benda canggih tersebut. “Ha...halo, Tuan Jackson?”

“Aidan apa yang kau lakukan?!” Sergah Paris seraya mencoba merebut kembali ponselnya itu.

“Halo tuan Jackson, ini aku, Aidan, teman sekampus Paris. Aku mohon anda jemput Paris sekarang juga, sesuatu yang sangat berbahaya akan terjadi disini!” pungkas Aidan dengan tangan gemetar.

“Aidan, hentikan! Aku bisa mengatasinya sendiri...! Aku tak akan pulang, sebelum semua ini menjadi jelas!” bentak Paris membuat perhatian seisi cafe tertuju padanya dan juga Aidan.

Tersirat airmuka Aidan begitu cemas. Lantas, ia menarik Paris ke luar dari court food tersebut dan mengajaknya kembali ke mobil.
                                                                    XOXOXOXOX
“Apa yang kau lakukan?” Paris bingung dengan sikap Aidan akhir-akhir ini.

Sejenak Aidan menghela nafasnya begitu dalam. “Maafkan aku, mungkin aku terlalu berlebihan. Tapi, ini juga demi kebaikanmu.” ujarnya sembari mengusap wajah ovalnya.
“Baik aku mengerti, tapi kenapa kau begitu sungkan untuk menceritakan semuanya padaku?” terang Paris penasaran.

Aidan tak menjawab. Tersirat garis muka yang tampak getir dan gelisah. “Aku harus mencari tahu...” gumam Aidan masih dengan setir mobilnya. Ia ingin sekali mengupas kejadian yang selama ini terus ditutup-tutupi oleh pihak kampus, termasuk Nyonya Gordon yang sudah jelas dekat dengan dirinya. Selama perjalanan pun Aidan hanya diam. Di dalam otaknya hanya terlintas, bagaimana ia menyelamatkan Paris dari ancaman “mereka”. Ya, mereka. “Pemilik” gedung kampus yang sebenarnya. Aidan terus memutar akal untuk melepaskan belenggu keparat itu dari Paris. Tentu saja, Aidan tak akan segan untuk berbuat apa saja. Kutukan? Lantas pikiran entah darimana itu beredar menjelajahi akalnya. Tidak mungkin! Kutukan macam apa ini? Brengsek! Aidan tak henti-hentinya mengumpat pada dirinya sendiri.

Sekitar 15 menit mereka membelah jalanan kota, akhirnya mereka kembali ke asrama dimana banyak mahasiswa dan mahasiswi menghabiskan waktu mereka selain di kampus yang mungkin sangat membosankan. Namun kali ini jauh berbeda, asrama tampak terlihat lebih sepi. Datang lagi. Perasaan janggal itu kembali menghantui Paris. Brengsek.

“Aidan, aku yakin kau merasakan apa yang ku rasakan saat ini...” desis Paris setengah berbisik. Aidan tercenung, sulit untuk mencerna kata-kata gadis berusia 19 tahun itu barusan.

“Bodoh, jangan pikir yang macam-macam! Maksudku, aku yakin kau tahu apa yang sedang terjadi saat ini,” tandas Paris mencoba meluruskan maksudnya, lalu berlari menuju aula tanpa menghiraukan Aidan yang tampak terlihat konyol itu.

CRAP! Benar. Insting itu ternyata bukan sekedar halusinasi belaka. Sesuatu yang aneh masih terus meneror orang-orang yang tak bersalah di tempat ini.

“Ada apa ini?” tanya Paris panik dan segera menembus kerumunan orang-orang disitu. NYONYA GORDON? Paris terperanjat melihat perempuan paruh baya yang tak asing baginya sudah terbujur kaku dengan mata kiri yang tertimpa ujung tangga kayu yang runcing. Paris tak mampu berkata apa-apa lagi. Ia sudah muak dengan kejadian bodoh seperti ini. Benar-benar bodoh!

“Apa yang su-sudah terjadi?” ucapnya kepada seorang penjaga aula yang berdiri disampingnya.
Pria yang berumur sekitar 45 tahun itu menggeleng lemas. Pertanda ia tak mengetahui apa yang sebenarnya sudah terjadi.

Paris mundur perlahan. Ia benar-benar tak menyangka akan mengalami hal paling menakutkan didunia ini baginya. Dalam hidupnya, ia sama sekali tak pernah mau melihat sosok jasad mengerikan seperti ini. Hidup memang sulit ditebak. Menyaksikan orang-orang terdekat meninggal karena sesuatu yang entah siapa pelakunya. Kejadian ini seakan-akan memaksanya untuk menjadi detektif dengan kasus-kasus bodoh seperti ini. Memecahkan sebuah masalah yang tak seorangpun tahu jawabannya. Meskipun orang yang ditanya itu adalah ilmuwan dunia sekelas Einstein, Paris yakin itu tetap takkan mampu menjawabnya walaupun dengan ribuan rumus-rumusnya yang aneh itu. Ini bukan soal Fisika atau Matematika. Ini jauh lebih sulit!

“Paris!”
Terdengar dari kejauhan seseorang memanggil namanya. Paris membalikan badannya, diedarkan seluruh pandangannya menerobos melalui kumpulan manusia-manusia itu dan berusaha untuk keluar darisana.

Chloe?! Kemana saja dia? Batin Paris khawatir.
“Chloe?” Ia berjalan mendekati gadis berparas Mexican itu. “A-apa yang sudah terjadi? Ada apa dengan Nyonya Gordon?” isak Paris ketakutan.

Chloe menghela nafasnya, mencoba menstabilisasikan pikirannya. “A-aku tadi tak sengaja melihat Nyonya Gordon menaikki tangga kayu itu. Dia bilang ingin memeriksa engsel jendela-jendela aula yang katanya sudah berkarat itu...” Ia mendesah, mencoba menahan airmata yang tak sabar lagi ingin meluncur keluar. “Lalu... ketika aku kembali ke asrama, aku mendengar suara seperti orang jatuh. Dan ketika kulihat lagi, ternyata....” Airmata Chloe akhirnya memecah. Ia tak mampu lagi melanjutkan ceritanya. Paris sebenarnya juga sangat takut sekaligus penasaran siapa yang berani berlaku seperti ini.

“A...aku tahu.. ini terdengar konyol!” papar Paris seraya merangkul Chloe yang masih terisak. Tiba-tiba sepasang matanya tertuju ke arah kertas yang diremas Chloe tersebut. “Kertas apa itu?”

Buru-buru Chloe menyapu seluruh sisa airmatanya. “Oh ya, barusan aku menemukan kertas ini. Tepat dimana tangga dan Nyonya Gordon terjatuh...” Ujarnya sembari menyerahkan gumpalan secarik kertas mungil itu.
Pelan-pelan Paris membuka gumpalan itu, dan ternyata...  
“PERGI ATAU MATI!”

Begitu tulisan didalam kertas itu. Sial. Kali ini Paris tak dapat menahan dirinya. Kakinya seolah melemas, dirasa tak sanggup lagi menopang tubuhnya itu. Matanya berkunang-kunang. Perutnya seolah terguncang dan bergejolak dengan hebat seketika itu juga. Bukan! Penyebabnya bukan karena ia belum makan. Sesuatu sudah mengkontrol dirinya. Brengsek. Pengecut! Paris merasakan ada lubang hitam dilantai itu membuat ia terpaksa terkulai. Namun, ia masih bisa mendengar suara Aidan yang berteriak dari kejauhan memanggil namanya dan berlari menghampirinya. Paris masih mampu merasakan semuanya. Chloe menepuk-nepuk pelan wajahnya, berusaha membangunkannya. Tidak bisa! Paris tak bisa melawan semuanya. Matanya tak sanggup untuk melebar. Ia sudah jatuh...melampaui alam sadarnya. Ingin rasanya ia berteriak sekencang mungkin. Akan tetapi, tetap tak bisa! Ayah... bantu aku! Bantu aku sekarang... kumohon ayah, datanglah.         
                                                                                               
                                                      XOXOXOXOXO



    “Paris, kau sudah sadar?” Suara Aidan memecah keheningan ruangan, lalu ia beringsut duduk bersampingan dipan dimana Paris masih terbaring.
Michael yang sedari tadi terus menguap, serentak membuka kedua matanya yang masih tampak terlihat sayu karena sepanjang malam suntuk menjaga putri semata wayangnya itu.
Paris memicingkan kedua bola mata birunya yang masih terasa kabur itu. Sontak ia terkesiap membeku, menatap seseorang yang begitu ia rindukan. Michael.

    “Ayah?” Paris masih belum percaya. Ia tercenung sebentar, menahan seluruh getaran detak jantungnya yang makin tak terkendali karena saking bahagianya. “Ayah?” Gadis cantik itu mengulangi pertanyaannya. Benar, ini nyata.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Michael sekonyong-konyong merangkul Paris begitu erat. Bibirnya terlihat bergetar. “Ayah sangat merindukanmu, Nak...” paparnya singkat namun terasa sangat dalam, lalu mendaratkan kecupannya di rambut Paris.

Aidan yang sedari tadi masih duduk disamping Michael tersebut terus memperhatikan adegan yang menurutnya mengharukan sekali. Dia memang tidak suka drama, namun baginya ini bukanlah sekedar adegan drama melankolis biasa yang bercerita tentang hubungan ayah-anak. Tak sadar ia menitikkan kristal bening disudut kelopak matanya. Sial, sekarang ia jadi ikut-ikutan merindukan ibunya.
                                                               ----ooOoo----
Usai adegan-manis-penuh-airmata terjadi barusan, Aidan menjelaskan kenapa ia meminta Michael untuk datang kesini. Memulangkan Paris. Coba tebak? Yap, Paris menolak usul Aidan mentah-mentah. Meski bagaimanapun juga, Gadis 18 tahun itu tetap enggan pulang—sekeras apapun Aidan membujuk. Michael tak tahu harus berbuat apa, karena sejujurnya ia juga sama sekali belum mengerti ‘kejadian’ seperti apa yang tengah meneror kedua pasang remaja yang kini bersamanya itu.
“Begini...” Michael kembali membuka suara. Dia harus membuat keputusan. “Sebenarnya, aku ada sebuah project rekaman hari ini. Umh, tapi...”
“Ya sudah, sebaiknya ayah pulang saja. Aku sudah tak apa-apa,” Paris mendesak ayahnya itu, berharap ia tak dipaksa untuk pulang. Kau tahu, Paris bukanlah tipe perempuan yang suka melarikan diri. Dia yang memulai, maka sebagai gantinya ia juga yang harus mengakhirinya. Itulah apa yang ada didalam otak gadis bermata biru tersebut. Membayangkan, hal-hal apa lagi yang akan berhadapan dengannya.
Ponsel Michael berdering melengking melalui saku celana panjang hitamnya. Buru-buru ia menyambutnya. Aidan dan Paris hanya duduk terdiam seraya mendengarkan dan memperhatikan apa yang Michael katakan kepada si penelepon itu. Sekitar 10 menit panggilan berlangsung, Michael menutup ponselnya dan meletakkan di atas meja kayu di kamar Paris tersebut.
“Okay anak muda, aku ikut dengan kalian!” seru Michael memamerkan senyuman khasnya. Paris mengernyitkan dahinya menandakan bahwa ia tak mengerti apa maksud pria berusia 57 tahun tersebut. Begitu juga dengan Aidan.
“Kalian boleh menganggapku seorang pria tua, tapi hey man!! Aku kuat, percayalah...” ujar Michael antusias, lalu mencopot blazer biru dan aviator yang sedang ia kenakan.
“Maksudmu, tuan?” Tanya Aidan masih belum paham.
“Tuan? Panggil saja aku ‘Michael’...” papar Michael menepuk dadanya. “Ya, aku membatalkan seluruh project rekamanku bersama relasi yang barusan menelpon, dan aku memilih untuk bergabung dengan kalian berdua.” Jelasnya.
Paris melongo. Ia menganggap keputusan ayahnya itu benar-benar gila! Membatalkan project rekaman? Orang macam apa ini? Project rekaman yang sudah bertahun-tahun direncanakan kini dibatalkan begitu saja? Oh, katakan ini hanya bercanda.
“Ayah serius—“ jawab Michael meyakinkan Paris yang masih tampak setengah sadar. “Saatnya merasakan betapa hebatnya seorang Michael Jackson di masa muda dulu, tidak jauh berbeda dengan hari ini.” Michael tertawa kecil mengolok-olok Paris yang menampakkan gestur seolah ingin berteriak “TIDAK MUNGKIN!”.
Tapi, Paris paham. Ia paham sekali akan sifat ayahnya itu. Sifat Michael yang begitu cemerlang, meski sudah berusia menjelang senja. Enerjik, dan masih berpikiran jernih penuh ide-konyol-namun-brilian. Dan kini Paris benar-benar sadar, bahwa ayahnya memang pantas mendapat julukan “King” oleh masyarakat sepenjuru dunia yang tidak sempit ini. Sejenak, Paris merasa bangga terlahir dengan seorang ayah seperti Michael. Tuhan memang adil.
Berbeda dengan Aidan. Ia memang sedikit gugup berhadapan dengan seorang pria paruh baya yang mungkin sebagian orang menganggapnya “Sesepuh Hollywood” atau lebih tepatnya orang nomor satu di panggung dunia hiburan internasional ini. Namun disisi lain, lelaki berambut coklat ini melihat Michael dengan sudut pandang yang berbeda. Melihat Michael yang “sesungguhnya”. Melihat seorang Michael Jackson dengan latar belakang “manusia biasa” dengan mengesampingkan status Michael sebagai selebritis paling ‘WOW’ di seantero jagad raya. Tidak sepenuhnya sempurna. Tapi, Aidan akui bahwa Michael adalah sosok figur seorang ayah yang tidak membosankan—jauh berbeda dengan ayahnya yang diktator—lebih menyenangkan dan sangat keren untuk diajak bergurau.
Suasana berubah hening. Yang terdengar hanyalah bunyi detik jam yang tergantung membeku di dinding. Pukul 7:28 malam. Waktu seolah terasa begitu gesit berputar. Michael terlihat sibuk dengan laptopnya. Paris sibuk memasak makan malam apa adanya. Dan Aidan, airmukanya begitu risau. Ia duduk termenung dengan tangan terkepal di depan wajahnya. Entah apa yang sedang ada dalam pikirannya.
TRANNNGGG!                                                                                                                                                                      Suara benda jatuh memecah kesunyian malam itu. Michael terkesiap, dan lamunan Aidan terpecah. Lantas, kedua lelaki itu buru-buru memeriksa Paris yang masih berada di dapur.
“Ada apa, Paris?” tanya Aidan sambil membuka tirai pintu. Dilihatnya, Paris  berdiri membisu dengan raut memucat. Matanya menerawang.
“Paris?!” Michael segera menghampiri putrinya itu, terlihat pisau yang—mungkin—tadinya dipegang Paris jatuh menggelusur ke lantai.
Paris mengerjipkan matanya beberapa kali. Napasnya memburu. “Kalian, lihat—“ ujarnya  sedikit berbisik.
“Apa?” Michael memungut pisau dapur yang terjatuh di lantai tadi.
“Bayangan itu datang, melalui kaca jendela itu...” ujar Paris terdengar menggumam. Tubuhnya terasa lembab oleh keringat. Bayangan? Kaca Jendela?
Michael dan Aidan mendekati kaca jendela dapur. Tak ada siapapun. Gelap gulita. Lantas, Aidan menutup jendela itu dengan gorden oranye yang tersingkap disisinya.
“Sudah jangan terlalu dipikirkan, sebaiknya kita makan malam dan segera tidur.” Ajak Michael mencoba menenangkan dan segera beringsut meraih sepiring penuh udang tepung dan semangkuk berukuran sedang berisi sup asparagus.
Mereka bertiga makan malam diruang depan—kebetulan kamar asrama Paris tak punya ruang makan khusus. Paris masih terlihat was-was, mencoba mengawasi apa-apa yang mungkin saja muncul secara tiba-tiba di ruang itu. “Pare, makanlah...” tegur Michael yang sedari tadi terus meperhatikan Paris. Gadis berambut panjang itu menurut, disuapkannya sesendok sup ke dalam mulut mungilnya. Ia berusaha untuk terlihat tenang, walau sebenarnya jantungnya masih terus memompa tak terkendali.
Pukul 8 malam tepat. Koridor asrama semakin terlihat sepi. Hanya ada beberapa gadis perempuan yang tertawa cekikan di mulut tangga. Michael dan Aidan tidur sekamar. Itu atas perintah Nyonya Brighton, rektor Universitas Blackburn ini. Dan Paris, ia hanya tidur sendirian tentunya.

No comments:

Post a Comment

Welcome to my blog
go to my homepage
Go to homepage