Thursday, September 1, 2011

"The Bloody Mirror" [1st Chapter]

'BRUUKHH...'
Dengan sigap, Paris menaruh seluruh kopor-kopornya yang mayoritas isinya adalah lembaran-lembaran stelan pakaian yang biasa ia kenakan sehari-hari di lantai ruang asrama barunya. Sejenak, gadis berparas Eropa itu memperhatikan keadaan ruangan yang berada di sekelilingnya. "Uhh...sudah berapa lama tempat ini tak berpenghuni...?" desisnya heran.

   "Maafkan kami, nona Jackson...asrama di kampus ini sebagian besar sudah banyak yang menempati...jadi, kami hanya bisa menyediakan ruangan ini khusus untuk anda...sekali lagi, kami harap nona memakluminya..." tutur Nyonya Gordon, pengurus asrama-asrama tempat para mahasiswa kampus menginap.

   "Oh...tidak apa-apa...malahan aku senang dengan tempat ini..." sahut Paris berdalih.

   "Baguslah, kalau begitu. Lagipula, walaupun tempat ini terkesan agak tak terurus, tapi komponen-komponennya masih terjaga. AC-nya pun masih berfungsi, begitu juga dengan kipas angin, teve, bahkan di kamar mandinya juga sudah disediakan bathtub dan shower sendiri. Jauh berbeda dengan ruangan lainnya, yang hanya dilengkapi fasilitas pipa ledeng saja..." terang Nyonya gordon panjang lebar.

   Menanggapi penjelasan dari wanita berusia 43tahun tersebut, Paris hanya bisa manggut-manggut. Namun, tak sengaja terbersit sebuah pertanyaan ringan yang memenuhi isi kepalanya.
"Kalau semua sarana di ruangan ini sudah terlengkapi, lantas kenapa hanya ruangan ini yang tampak sudah lama tak berpenghuni...? Padahal 'kan, yaa...banyak sekali mahasiswa yang kuliah di kampus ini...." timpal Paris ingin tahu.

   Sepertinya pertanyaan Paris tadi sedikit membuat Nyonya Gordon merasa risih. Lalu sejenak matanya menerawang mengarah kaca jendela kamar itu, kemudian mengumbar senyuman tipis.
"itu karena...mereka tak menyukai tempat ini..." kata Nyonya Gordon penuh arti.

   Seketika kening Paris menjadi berkerut. Tampaknya, ia tak terlalu paham dengan apa yang dimaksud Nyonya Gordon barusan. "Tak menyukai...? Maksudnya?" tanya Paris dengan alis terangkat sebelah.

   "Entahlah...aku pun tak terlalu tahu, nona..." sahut wanita itu seraya mengangkat kedua bahunya yang gempal. "Ma...maaf nona, masih banyak hal yang harus kukerjakan...selamat beristirahat, nona..." sambungnya sembari melangkah ke luar ruangan.

   'Aku tak mengeti...' batin Paris bingung.
Meskipun sikap Nyonya Gordon tiba-tiba berubah jadi aneh, namun Paris sama sekali tak merasakan sedikitpun hal-hal yang berkesan mencurigakan.
XOXOXOXO



   "Annie Are You Okay? Are You Okay Annie, aoooww..." Paris tak henti-hentinya berdendang diiringi suara MP3-nya yang sengaja ia putar dengan volume maksimal. Tangannya pun masih sibuk menggenggam kemoceng. Sebentar-sebentar, ia menari-nari tak jelas, lalu kembali melanjutkan kegiatan bersih-bersihnya lagi.

   Tok...Tok...Tok...
Terdengar suara ketukan pintu ruangan tersebut. Akan tetapi, Paris berusaha tak menghiraukannya. Ia tetap saja berkutik dengan lagu-lagunya dan juga kemoceng yang sudah nampak semakin kucel.

   Tok...Tok...Tok...
Lagi-lagi terdengar suara ketukan pintu berulangkali, namun kali ini bunyinya agak terdengar lebih keras.
   "Aissh...siapa sih?! Sore hari begini seenaknya menggedor-gedor kamar orang...mengganggu privasi saja..." oceh Paris setengah jengkel. Walau begitu, ia malah makin berpura-pura tak dengar dengan suara ketukan itu.

  Masih saja.
Ketukan itu tetap saja berkumandang, membuat Paris berdecak singkuh. Lantas, gadis blonde itu menaruh kemocengnya kembali dan segera mematikan MP3-nya. Buru-buru ia membuka kenop pintu kamarnya.
'CKLEK...'

   Tak ada siapa-siapa disana. Paris menyembulkan sedikit kepalanya, melihat ke arah kanan dan kiri. Kosong. Tak ada seorangpun yang mondar-mandir di sepanjang koridor itu.
Lalu, siapa tadi yang terus menerus mengetuk pintu?.

  "Sialan, pasti seseorang sedang mengerjaiku..." desisnya tajam, lalu kembali menutup pintu tersebut dengan hentakan yang agak keras.

   Tak lama, tiba-tiba ponsel Paris berdering melengking, membuat sang pemilik terlonjak kaget. "Ayah...?". Lalu, Paris menekan tombol hijau pada benda mungil nan canggih itu.

   "Iya...halo, Ayah..." Paris menyambut seseorang di seberang sana.

   "Halo, Paris.." sahut seorang lelaki dari sana . "Kau sudah sampai di kampusmu yang baru?" tanya lelaki itu dingin. Suaranya memang hampir mirip menyerupai suara Michael, namun nadanya agak berbeda. Tak biasanya, Michael berbicara dengan nada datar.

   "Tentu, Ayah...ngomong-ngomong, Ayah tahu darimana kalau ini nomor handphone-ku? Padahal 'kan aku baru saja mengganti nomor lamaku dengan yang baru kubeli tadi, lagipula aku sama sekali belum mengabari Ayah tentang nomor ini..." jawab Paris heran.

   'Tuutt...tuuutt...'
Tiba-tiba saja sambungan telpon terputus. Tak terdengar lagi suara lelaki misterius itu.

  GLEK. Paris meneguk ludahnya sendiri. Peluh dingin tampaknya sudah mulai membasahi punggungnya. Tanpa berpikir lama, Paris berniat untuk kembali menghubungi ayahnya. Ia berharap bahwa orang yang barusan meneleponnya tadi memang benar Michael Jackson, ayahnya sendiri. Dengan gesit, jemari lentiknya menekan-nekan nomor pribadi ayahnya.
'TUUUUUUTTT...' hubungan telpon tersambung.

   "Halo...siapa ini...?" tatkala terdengar suara lembut Michael.

   "A..Ayah, ini aku...Paris..." sahut Paris sedikit panik.

   "Oh...Parrybear...kau ganti nomor lagi? Bagaimana dengan asrama barumu, Nak?" tanya pria berambut keriting itu dengan nada hangat.

    "Lu...lumayan Ayah... eh, apa benar tadi Ayah menelpon-ku?"
Mendadak jantung Paris berdebar tak karuan.

    "Iya...tapi ke nomor lamamu...dan sayangnya, itu tidak aktif..." jawab Michael.

   "Be...benarkah?! Lalu, Prince...apa tadi dia terlihat hendak mencoba menghubungiku?"

   "Eh...Ayah rasa tidak, karena sesudah kau berangkat, dia pergi ke rumah Janet...ponsel-nya pun tertinggal di rumah..." ujar Michael.

   "Blanket...?" tanya Paris sekali lagi.

   Michael tertawa kecil. "Mana mungkin, sayang...daritadi pagi 'kan ponselnya Ayah pegang..."

   "Oh...be...begitu..." ujar Paris singkat dan tanpa ekspresi.

   "Memangnya ada apa, Nak?"

   "Ti...tidak ada, Yah...aku hanya memastikan saja...eh, maaf, Ayah...mungkin telponnya akan kusambung lagi nanti, karena barusan rektor universitas ini memanggilku...sebaiknya Ayah jaga diri dan jangan terlalu mencemaskanku...Bye, Daddy...I Love You..." papar Paris salah tingkah, lantas memutuskan sambungan telepon.

   Sejenak, Paris mencoba menstabilisasikan pikirannya. Sepasang matanya pun turut menyapu ke setiap sudut ruangan tersebut.
"Ahk...kejadian gila macam apa itu...?" dengusnya.

   Dalam kurun waktu yang cukup singkat, pintu kayu itu tampaknya kembali diketuk. Paris sempat terkesiap, namun ia tetap berusaha untuk mengontrol dirinya.
"Siapa disana...?"

   "Ini aku, Chloe..." kali ini terdengar sahutan dari balik pintu.

   Kemudian, Paris beringsut dari duduknya dan kembali membuka gagang pintu beraksen ukiran tersebut. Diintipnya sebentar. Didapatinya, seorang gadis manis bertubuh sedang, dengan rambut hitam sebahu membingkai wajahnya yang bulat sedang berdiri membisu berhadapan dengan benda persegi itu. Setelah dipastikan bahwa gadis itu memang 'manusia', akhirnya Paris berani membuka lebar daun pintu itu.

  "Parisss....aku merindukanmu..." tatkala pintu itu terbuka, sontak gadis itu merangkul Paris erat-erat membuat Paris hampir saja terjungkir.

  "Eh...maaf, mungkin kau salah orang..." celetuk Paris ragu-ragu.

   Lantas, dengan sigap gadis itu melepas dekapannya. Kemudian memperhatikan Paris, dari ujung kaki hingga kepala.
"Tidak mungkiinn...kau Paris kan? Paris Michael Katherine Jackson 'kan? Tak mungkin aku bisa salah orang... Apa kau lupa denganku, hah? Aku Chloe..." ujarnya cepat.

   "Sebentar, Chloe..." Paris mencoba memutar kembali seluruh memori di kepalanya.
"OOOOOH...Chloe Marrionett? Kalau tidak salah, saat perayaan natal waktu SMA, 3 tahun silam, kau yang ngompol di celana saat pemutaran film horor di rumah Sully, 'kan???" seru Paris memastikan.

   "Sssttt....kecilkan suaramu..." wajah Chloe mendadak bersemu merah menahan malu.

   "Heheheh..." Paris malah cengengesan. "Ayo, masuk dulu..."
                                                               ~~~~~~~~~~


   "Hei... kau tahu, mantan pacarmu itu juga mahasiswa disini..." celoteh Chloe sembari menyeruput Starbucks yang baru saja disuguhkan Paris.

   "Mantan pacar? Siapa??" mendadak kedua mata biru Paris mendelik.

   "Aidan...Aidan Sullivan...kau ingat dia...?" tanya Chloe.

   "Oh, pria itu..." ujar Paris singkat. Sekilas guratan wajahnya berubah sendu ketika nama itu disebut.

  "Paris...aku tahu, kau pasti masih sakit hati dengan kejadian waktu itu..." ucap Chloe prihatin.
Sementara itu, Paris hanya mengangguk pelan.

   Kejadian dimana hal paling menyakitkan yang pernah Paris rasakan. Aidan. Pria yang pertama kalinya mengucapkan kata "I LOVE YOU" kepada Paris. Dan pada akhirnya, seorang penyihir jahat harus membuat kedua sejoli terpisah. Louis Nemankovva, gadis Rusia yang berusaha mendekati Aidan. Yang memanfaatkan penyakit yang sedang ia derita, demi perhatian Aidan.

   "Kabarnya...Louis sudah meninggal, karena leukimia yang semakin menguasai seluruh sel darahnya..." papar Chloe lirih.

   "Apa? Meninggal? Kapan? Aku tak pernah dengar berita itu..." tanya Paris agak syok.

   "Usai perpisahan, kebetulan kau izin pulang duluan...dan saat itulah, tiba-tiba keadaan Louis semakin kritis...awalnya, aku ingin mengabarimu tentang itu...namun, entah tanpa sebab apa...Aidan mencegahku..." Chloe dengan ingatan yang tajam membeberkan hal itu.

   Paris menghela nafas berat. Ia bingung, kenapa ia harus pindah. Entah apakah ini sudah menjadi garis takdir, kenapa ia harus memilih universitas yang disana ia kembali bertemu Aidan. Percuma saja ia selama ini pindah sekolah, hanya untuk menghindar dari bayang Aidan, toh akhirnya mereka harus bertemu lagi.

   "Oh ya...kau tahu darimana kalau aku berada di ruangan ini??" tanya Paris mengalihkan tema obrolan.

   "Mmmh...tadi, di luar...aku tak sengaja melihatmu. Lalu, kau kupanggil-panggil, tapi tak juga menoleh. Jadi, aku tanya saja pada Nyonya Gordon..." tutur Chloe nyengir.

   "ahahah... kau tetap tak berubah ya..." celoteh Paris seraya menoyor pundak Chloe."kamarmu nomor berapa?"

   "Mudah diingat, nomor 55 lantai 2, didepan tangga..." jawab Chloe. "Hoahmmm...Paris, ini sudah jam 8 malam...aku harus kembali ke kamar..." papar Chloe seraya menutup mulutnya yang sudah mulai menguap.

   "Okay...aku antar sampai tangga saja ya...?" usul Paris sambil membukakan pintu. Chloe hanya mengangguk dengan mulut yang masih menguap lebar.

  "Bye...Pare..." ucap Chloe sembari menuruni anak tangga. Lantas, Paris terus menerus melambaikan tangan kanannya hingga Chloe menginjak anak tangga terakhir dan berniat kembali ke ruangannya, di ujung koridor. Namun, baru beberapa jengkal Paris melangkah, tak sengaja ia berpapasan dengan seorang pria. Pria yang sepertinya sudah lama ia kenal. Pria itu pun tampaknya terus memperhatikan wajah Paris. Buru-buru Paris menundukkan kepalanya, lalu mempercepat langkahnya menuju kamar.

   'BRAAKKHH....!!!'
Refleks tangan Paris membanting daun pintu itu. "Aidan...? Kenapa kamarku harus bersebelahan dengannya?" Paris mendesah pasrah. Ia merasa, sekeras apapun ia mencoba untuk jauh dari lelaki itu, tetap saja percuma.

   Lalu tiba-tiba, tak sengaja telinga Paris menangkap suara-suara aliran air. Sepertinya, itu berasal dari shower yang dinyalakan. Lalu suara gemericik air yang terdengar sayup-sayu, seolah di dalam kamar mandi sana ada seseorang yang sedang membasuh muka. Siapa itu?.
Perlahan, Paris menajamkan kedua telinganya. Kalau saja, ia salah dengar. Tapi, tidak...! Suara itu terdengar makin jelas. Muncul perasaan was-was dalam benak Paris. Lantas, gadis bertubuh semampai itu mengatur langkahnya menuju kamar mandi itu. Dari balik tirai biru kamar mandi, tampak siluet tubuh sosok perempuan. Awalnya, Paris sempat bergidik. Darahnya berdesir hebat, mengalahkan pacuan jantungnya. Tidak...mungkin itu hanya sekedar pantulan bayangan benda yang kebetulan mirip tubuh manusia... Tapi, mustahil! Tak satupun benda yang berada di kamar mandi itu. Paris yakin, hanya ada sebatang sabun, sikat gigi, dan shampo yang tergeletak di samping bathtub. Tiba-tiba, Paris merasa bulu kuduknya mendadak bangun.

   "Si..siapa?" desis Paris bergetar. Dengan seluruh nyalinya, Paris nekat mengibaskan tirai itu dengan tangannya dan...

(Go to 2nd Version)

No comments:

Post a Comment

Welcome to my blog
go to my homepage
Go to homepage