Thursday, September 1, 2011

"The Bloody Mirror" [2nd Chapter]

'SRAAAAKKHH....'
Secepat kilat, gadis pirang itu  menyibakkan tirai sutra tersebut. Lagi-lagi kosong. Tak ada siapapun disitu. Tak ada seorang pun yang sibuk berendam didalamnya. Yang Paris dapati hanyalah tetesan air dari shower. Sulit dipercaya.
  Paris mengusap wajahnya. Berharap usapan itu dapat menetralisir rasa tegangnya. Jantungnya pun seakan turut berderap tak beraturan, disertai nafasnya yang masih memburu.
  "Hhh...mungkin ini hanya halusinasiku saja. Dan mungkin juga karena selama ini aku tak biasa ditinggal sendiri, lalu berkhayal yang tidak-tidak..." Paris tertawa kecil. Ia berusaha menepis jauh-jauh perasaan ganjil yang kadang menghinggapinya.

  Udara malam semakin terasa dingin, ditambah hawa beku yang bersumber dari AC. Kali ini Paris merasakan badannya sungguh pegal. Lantas, ia meraih handuk kecilnya yang tergantung di kaitan pintu lemari dan segera melangkah mengarah kamar mandi. Kemudian, diamatinya sejenak keadaan ruangan itu. Tak ada yang mencurigakan. Sontak, Paris melepas seluruh pakaian yang masih membalut tubuh indahnya itu dan segera terjun ke dalam bathtub.
  "Ahh...hangatnya..." Paris mendesah nyaman seraya menghirup aroma terapi yang ia bubuhkan ke dalam air itu.
  Kini ia merasa sedikit rileks. Persendiannya juga sudah tak terasa tegang lagi. Paris sangat menikmatinya. Tanpa sadar, ia memejamkan matanya hingga terhanyut dalam mimpi.

   PLASSSH...!

Tepat di alam bawah sadarnya, Paris seakan sedang berada di suatu tempat. Dan tentunya Paris tak mengenal tempat apa itu. Sangat asing menurutnya. Lamat-lamat, ia berjalan tanpa arah. Sepasang mata indahnya sibuk mengedarkan pandangannya ke setiap arah. Pada akhirnya, kedua kakinya terhenti di sebuah padang rumput yang sangat luas---dan lagi-lagi Paris tak tahu dimana dan apa nama tempat tersebut.
  Begitupun, Paris tetap menikmati suasana sejuk tempat itu. Desiran angin diiringi bunyi gemerisik dedaunan menciptakan sebuah ketenangan hati. Lantas, Paris merentangkan tangannya sedikit agar kesejukan itu mampu menelusup ke dalam jiwanya. Namun, belum sempat ia merasakannya, tiba-tiba raganya seolah....TERSEDOT.

  Kemudian, Paris merasakan dirinya sudah kembali ke dalam kamarnya.

 Tidak! Ini sungguh berbeda. Berbeda dengan kamar asramanya yang kini sedang ia tempati. Sebentar Paris melongo, memperhatikan ruangan tersebut lekat-lekat.

    "AAAAAAAAAAAHHHKK!!!"
Mendadak, indra pendengaran Paris menangkap segelintir pekikan histeris dari kamar mandi itu. Lagi-lagi ketegangan mulai merajai batin Paris. Berulangkali jeritan misterius seorang perempuan dari sana terus memenuhi sepasang daun telinganya. Peluh dingin kembali mengepung tubuhnya.

   Dengan kaki yang seakan lumpuh layu, Paris mencoba untuk meneguhkan langkahnya. Walaupun tampak terseok-seok, Paris tetap melangkah. Memeriksa apa yang sebenarnya sedang terjadi. Mulanya, teriakan mengerikan tersebut terdengar sangat melengking, menggema ke seluruh penjuru ruangan. Tak lupa juga, rintihan seorang perempuan menyertainya di sela-sela pekikan keras itu.
  Sejenak, Paris memejamkan matanya rapat-rapat. Memberanikan diri untuk menyaksikan peristiwa--yang mungkin--nampak tragis. Rintihan. Teriakan. Namun, semuanya kembali hening seketika, tatkala Paris sudah berada di ambang pintu. Jeritan itu kini sudah lenyap, seolah desiran angin berhasil membawanya pergi. Dan kini, hanya segenap decakan binatang kecil yang masih asik berkoar-koar di malam sunyi itu.

  Dibekali seluruh sisa-sisa nyalinya, Paris memberanikan diri untuk membuka pintu.

  "AKKKKKHHHHHHHHHH....!!!"
sekarang giliran Paris yang memekik hebat. Ia kaget bukan kepalang. Tatkala ia membuka pintu itu, sontak saja sepasang matanya langsung tertuju kepada sesosok jasad perempuan sudah tergeletak tak bernyawa. Yang tentunya keadaannya sungguh tak layak untuk disaksikan.
  Sekujur tubuhnya dibaluri oleh luka-luka lebam. Seakan sesuatu sudah menghantamnya berulangkali. Hampir seluruh bagian kepalanya tertancap beberapa keping pecahan beling dari cermin kamar mandi itu. Mengisyaratkan bahwa ia baru saja dihempaskan sehingga membentur cermin antik yang masih tergantung di muka dinding. Membuat setiap helaian rambut pirangnya yang tergerai panjang bersimbah cairan pekat merah gelap. Tulang tengkoraknya pun tampak mencuat keluar, seakan dengan angkuhnya ia memamerkan diri.

   "A...apa yang sedang terjadi? Kenapa aku ada disini?" batin Paris mengerucut. Pikirannya sudah melalang jauh. Ia yakin itu pembantaian. Sebuah pembantaian kejam yang ironi menyebabkan kematian yang naif. 'Cermin itu...'. Pikirannya kembali menerawang, menghujam tiap kepingan-kepingan cermin yang retak.

   Akhirnya Paris mencoba bergeming dari tempatnya. Kakinya seakan kaku, walau hanya digerakkan satu jengkal dari tanah saja. Suasana hening, sampai-sampai debaran jantung pun dapat mengumandangkan bunyian-bunyiannya. Pelan-pelan, Paris berjalan mendekati cermin yang sudah semakin usang. Retak. Membuatnya seakan tak ada harganya lagi. Ditatapnya cermin yang sudah hancur terbelah dengan sekat-sekat yang masih terhias membingkainya. Dibelainya sejenak. Entah kenapa Paris sangat tertarik dengan cermin beraksen kuno tersebut.
    Disaat itu juga, Paris menjejalkan senyuman mengembang dari bibirnya di hadapan cermin itu. Ia tak perduli dengan mayat yang masih terbujur kaku di sebelah kakinya. Cermin itu seolah sudah berhasil membuatnya jatuh cinta.

   Akan tetapi, tepat ketika Paris menyentuh cermin itu, ia menangkap sebuah pantulan perempuan selain dirinya. Sosok itu makin menyeringai, dengan tubuh janggal memamerkan tulang iganya yang hampir mencuat kemana-mana.

  Sontak saja Paris terhentak kaget. Ia tak mampu bergerak. Makhluk itu berhasil membuat seluruh engsel-engselnya copot. Kakinya seakan sudah kehilangan kesanggupannya untuk menopang tubuh itu. Sosok itu terus mengarah ke punggung Paris. Jemarinya yang hanya tulang dibalut kulit sepertinya hendak meraih kepala Paris. Semakin dekat, Paris semakin tak berdaya. Pori-pori kulitnya bergejolak, berlomba-lomba mengalirkan seluruh cucuran peluh dingin. Lidahnya semakin kelu. Dan kini, hanya separuh kilan saja tangan mengerikan itu hendak menjambak kepala Paris.

   PLASH...!
 Paris kembali tersadar. Lantas, ia meraba-raba tubuhnya. "Apa aku masih hidup?" gumamnya cemas dengan nafas yang terdengar makin memburu.

  Diedarkannya segenap tatapannya ke sekeliling. Baik-baik saja. Semua terlihat seperti semula. Tak ada mayat, tak ada cermin retak, dan...tak ada sosok janggal yang tengah menerornya tadi. Paris pun menyadari, kalau ia masih dalam keadaan berendam. Bathtub dengan air hangatnya pun masih tampak sepeti biasa.
  Paris menghela napas berat, kemudian melilitkan handuk hingga menutupi beberapa bagian tubuhnya. Paris sungguh tak paham. Apakah itu hanyalah sekedar mimpi buruk atau...memanglah sebuah firasat. Ah, entahlah.

     Langkah Paris terhuyung-huyung. Lantas, dengan ringannya ia menghempaskan tubuhnya ke dipan. Terpejam lagi, merasakan betapa bayinya gulita malam. Tanpa ayah. Tanpa Ibu. Melangkah tanpa tujuan, menentang kodratnya yang sebatangkara.
                                                        ~~~~~~~~~~~~~~~


  Disepanjang koridor kelas, Paris dan Chloe terus menerus cekikikan. Entah apa saja yang mereka ceritakan. Semenjak pagi itu, Paris tak terlalu memikirkan apa yang ia alami semalam. Ia tak ingin terus menerus larut dalam suasana mengerikan macam itu. Paris yakin, itu hanyalah sekedar tantangan untuk beradaptasi di lingkungan barunya kini.

   "Paris, aku masuk kelas dulu..ya, sampai nanti..." tutur Chloe tatkala ia menyambangi  pintu kelasnya. "Maaf, Pare...sepertinya kita tidak bisa pulang ke asrama bersama, seperti kemarin..mungkin hari ini aku pulang agak petang...ya, kau tahulah bagaimana mata kuliah Mr. Goody..." jelas Chloe agak lesu.

  Paris tertawa geli mendengarnya. "Ya..ya aku tahu...tenang saja, aku bisa pulang sendiri, kok..." ujar Paris harap maklum. "Okay, aku duluan ya??" pungkasnya seraya kembali melanjutkan langkahnya.

  Namun, tak jauh dari kelas Chloe...Lagi-lagi Paris berjumpa dengan seorang pria. Pria itu tesenyum padanya, dengan sepasang earphone menempel di kedua telinganya. Tubuh dan satu kakinya bersandar di tiang beranda, dan bertumpu pada kakinya yang lain. Pria yang tak asing lagi bagi Paris. Aidan...ya benar, Aidan Sullivan.
   "Hai..." sapanya tamah.

  Paris menoleh ke belakang, ke kanan dan ke kiri. Memastikan bila ada orang di sekitarnya. Tetapi, di koridor hanya ada sepasang muda-mudi saja disana. Paris sendiri dan...Aidan.

  "Halooo..." tegur Aidan kembali dengan nada agak keras dari sebelumnya.

  "Kau menyapa siapa? Aku?" tanya Paris bingung.

  "Tentu saja...siapa lagi kalau bukan kau...!" tukas Aidan sewot.

  "Oh...hai juga..." balas Paris acuh tak acuh, lalu kembali melangkah tanpa memperdulikan Aidan.

  "H...Hey..tunggu, Paris!!" panggil pria bermata coklat itu, seraya berlari mengejar Paris.

  "Apa? Kau masih mengingat namaku?" Paris membalikkan badannya.

 "Jelas...mana mungkin aku semudah itu melupakanmu..." papar Aidan tanpa ragu.

   DEG. Paris terdiam. Jantungnya kembali berdetak tak karuan. Kali ini bukan karena ulah hantu-hantu atau apalah. Tetapi...ucapan Aidan tadi... "Jelas...mana mungkin aku semudah itu melupakanmu..."
  Apakah itu hanya sebuah candaan konyol ? Atau... ah..mana mungkin! Peristiwa itu sudah lama berlalu. Paris mendadak salah tingkah berhadapan dengan Aidan. Namun tetap saja, ucapan tadi terus terngiang memenuhi indra pendengaran Paris.

  "Kau ambil jurusan fakultas apa?" suara Aidan kembali membuyarkan lamunan Paris.

  "Heh...? Oh...jurusan kesenian..." jawab Paris sedikit canggung. 'Aduh...kenapa tiba-tiba aku jadi gugup begini?' Paris tak hentinya membatin.

  "Kesenian ya...kalau aku sih, desain grafis" tanpa ditanya Aidan malah menjawab sendiri. "Oh ya, kau tinggal di kamar sebelahku itu ya?" tanya Aidan sekali lagi.

  "I..iya, memang kenapa?"

 "Hati-hati lho..." ucap pria berparas rupawan itu setengah berbisik.

 "Hati-hati? Memangnya...ada apa di kamar itu?" Paris kembali bergidik.

 "Bukan kamarnya yang bermasalah...tapi..." Aidan sengaja memotong perkataannya.

 "Tapi apa??" Paris semakin cemas, perasaan kembali tidak enak.

 "Cermin di kamar mandi itu..." suara Aidan berhasil membangunkan bulu kuduk Paris.

 "Cermin...?"

 "Ahahahahahh...kau percaya hal macam itu?" semburat wajah Aidan kembali cengengesan. "Eh...aku duluan ya, byee..." Aidan seperti tampak buru-buru, lantas ia berlari meninggalkan Paris sendirian di tengah koridor yang memanjang tersebut.
 Entah apa itu perasaan Paris saja, tiba-tiba gelagat Aidan berubah jadi aneh.

"Cermin...?" Paris mengulangi ucapannya. Mendadak memorinya kembali menayangkan kejadian-kejadian semalam. Mayat. Pembantaian. Cermin. Retak. Darah. Makhluk...

 PLAKK!
Disaat itu pula, secarik kertas menampar wajah Paris. Di raihnya kertas itu.
 'Pergi...atau Mati!' sebuah tulisan bertorehkan darah di kertas itu.

Paris menggigil. Dirasakannya sebuah desiran angin kecil menelusup ke tengkuknya.

Pergi...atau Mati!

 [Go to 3rd Version]

1 comment:

Welcome to my blog
go to my homepage
Go to homepage