Monday, October 24, 2011

"The Bloody Mirror" [3rd Chapter]


Sejenak terbersit kembali mimpi buruknya itu. Dengan suara yang tertahan, Paris mencoba untuk membaca torehan itu sekali lagi. 'Pergi...atau Mati!!' . Seketika itu pula ia merasakan goncangan yang sangat hebat bergejolak memenuhi perutnya. Mual. Yah, Paris merasakannya. Langkahnya terhuyung-huyung melewati koridor kelas yang semakin tampak senyap.
  "Ahh.. sial!!" dengus Paris geram sembari memegangi kepalanya yang juga makin terasa berat. Diremasnya kertas itu erat-erat, lalu dilontarkannya ke dalam tong sampah yang nampak sudah sangat usang dengan sisa-sisa perasaan sebalnya.
                                                          XOXOXO
                           
   Dengan gontai, Paris menginjakkan kakinya ke dalam ruang kelas barunya itu. Tampak seorang gadis seusianya dengan tampilan yang sangat mencolok dan Paris biasa menyebutnya dengan sebutan 'norak'.
   Ah..dia lagi..! Rasa geram yang sempat lenyap tadi kini mulai menyeruak menutupi raut mukanya.
"Permisi, aku mau duduk..." tegur Paris sedikit ketus. Gadis itu menoleh lalu memandangi wajah Paris sebentar.
   "Oh..kau anak baru itu?" tanya gadis tersebut seraya mengamati seluruh bagian tubuh Paris lekat-lekat. Paris menatap risih gadis tersebut, lantas berusaha mencari bangku kosong yang lainnya. Yap, diujung samping jendela. Paris tak memperdulikan tatapan gadis itu lagi, ia hanya terus saja melangkahkan kedua tungkai kakinya menuju bangku tersebut.
   "Nicole cintakuuu..." tiba-tiba seorang pria menghampiri gadis itu, membuat ia mengalihkan perhatiannya dari Paris. Paris bernafas lega. Baru kali ini ia menemui seorang anak perempuan sebaya dengannya 'betah' memandanginya seperti tadi.
    Paris tertawa geli membayangkannya. Sudah puas tertawa, lantas Paris memalingkan mukanya ke arah luar jendela.
Tiba-tiba sesuatu di luar berhasil menarik perhatian Paris. "Siapa dia?" desis Paris pada dirinya sendiri sembari memicingkan indra penglihatannya. Sepasang bola mata terus mengamatinya. Didapatinya seorang gadis di luar jendela sedang menatapnya lamat-lamat. Seorang gadis misterius. Tampaknya ia bukanlah mahasiswi di kampus ini.
  Gadis itu berwajah putih—atau tepatnya pucat—terus menatapnya tajam. Berdiri membelakangi toilet.
   'kenapa semua orang memandangiku seperti itu?! Apa ada yang salah denganku?' batin Paris gusar. Sedetik kemudian, gadis berambut pirang tersebut beranjak dari bangkunya.

 Paris menderapkan kakinya ke kamar mandi kampus yang terletak tepat di pojok koridor. Ia jadi sangsi. Ia bingung, kenapa tiba-tiba semua orang bersikap aneh padanya. Ditambah seorang gadis misterius berkulit pucat itu terus memandanginya. Apa...karena kertas tadi? Ahh.. tidak mungkin! Mungkin kertas itu hanya sekedar ulah para anak-anak nakal di universitas ini. Paris mencoba menepisnya lagi. Ia menganggap, semua hal janggal itu terjadi karena faktor 'kebetulan' saja.
   Ditiliknya seluruh bagian wajahnya di depan cermin. Apakah ada komedo yang menutupi hidungnya. Atau jerawat yang tak segan menghias kening mulus Paris. Atau bedak yang ia pakai terlalu tebal. Atau...
  Tak ada. Tak ada satupun yang aneh. Semua nampak terlihat biasa-biasa saja. Wajah oval Paris masih terbingkai oleh rambut panjangnya yang sengaja ia biarkan tergerai menutupi punggungnya. Paris jadi heran sendiri. Kalau tak ada sesuatu yang luar biasa, lantas...apa maksud dari tatapan aneh itu?
  Paris menarik nafas panjang. Menstabilisasikan pikirannya yang mulai buyar entah kemana arahnya. 'Pergi...atau Mati!!'
  Lagi-lagi tulisan itu terbaca oleh Paris. Kini torehan darah itu menempel tepat disisi dinding toilet. Paris mendecak lebih geram dari sebelumnya.
   "Kau saja yang mati!!!" hardik Paris dengan dahi berkerut seraya membanting pintu toilet itu. Tanpa berpikir panjang, gadis belia itu segera meninggalkan ruangan menjijikan tersebut.
                                                            XOXOXO

"Paris!!!" panggil Nicole seraya berlari menyusul Paris. Paris menghentikan langkahnya. Hatinya berharap, semoga gadis itu jera memandanginya seperti tadi pagi.
 "Paris, boleh nanti aku main ke kamar asramamu?"

"Hah?! Apa kau bilang??"' Paris terakaget-kaget bukan main. Apa maksud gadis itu.

"Iya, aku ingin sekali main ke kamarmu... boleh 'kan?" pinta Nicole.

Paris membisu. Ia harus berpikir dua kali untuk mengajak masuk gadis seperti Nicole. Ck...apa maksud dari gadis gila itu?
 "Ayolaahh.." desak Nicole.

"Maaf, Nick...mungkin lain kali saja..." tolak Paris mentah-mentah sembari kembali melangkahkan kakinya kembali.

  "Kenapa harus lain kali?" Nicole menarik lengan Paris.

  "Kau tak punya hak untuk mengaturku!!" bentak Paris sinis lalu melepaskan cengkraman Nicole.

  "Okay... aku tahu...! Tenang, aku tak akan membawa alkohol atau narkoba ke dalam kamarmu...dan ya, fine...aku akan datang ke kamarmu berdua bersama temanku..." Janji Nicole sambil mensejajarkan langkahnya. "Yahhh, tentu saja temanku itu perempuan..." sambungnya.

  "Dengar ya baik-baik, kamarku itu bukan museum yang menyimpan berbagai pajangan kuno. Dan kamarku itu bukan hotel, yang membuatmu bisa bebas keluar masuk sesukamu saja..." oceh Paris memperecepat langkahnya.

  "Hh.. baiklah kalau begitu. Berarti dugaanku selama ini memang benar..." mendadak ucapan Nicole membuat sepasang kaki Paris  terhenti.
   "Apa maksudmu?" kedua alis Paris terangkat.

"Kau terus menerus berdalih agar aku tak masuk ke kamarmu. Apa itu tidak aneh? Padahal aku hanya ingin melakukan aktivitasku seperti biasa. Mengunjungi asrama-asrama para mahasiswi baru disini. Dan hanya kau, mahasiswi baru yang bersikeras untuk tidak dimasuki oleh orang selain dirimu atau Chloe, teman bodohmu itu. Apa itu bukan hal aneh??.." Jelas Nicole berbelit-belit.

"Maaf, aku benar-benar tak mengerti apa yang sedang kau bicarakan..." ujar Paris heran.

"Jangan bersikap polos! Dari awal aku sudah tahu...kalau kau tidak sendirian di kamar itu..." Nicole menggantung ucapannya. Lalu menyunggingkan senyuman sinis ke arah Paris. "Aku sudah tahu, ada sesuatu yang lain berada di kamar itu bersamamu...aku tahu, dan kuyakin...kau pasti ingin melindunginya dariku, benar?" lanjut Nicole penuh kemenangan.

"Bisa kau perjelas ucapanmu?" tukas Paris mulai meluap.

"Kau itu...pengikut sekte pemuja setan, kan? MENGAKU SAJA KAU!" Nada bicara Nicole makin meninggi.

"JANGAN SEMBARANGAN KAU!" balas Paris. Mendadak, Paris mengayunkan telapak tangan kanannya. Namun sayangnya, tangan Nicole mampu menepisnya, lalu mencengkram kembali lengan Paris. "Kalau aku salah...buktikan! Jika kau tetap kukuh ingin menyimpan seluruh rahasia keji milikmu itu.. tak menutup kemungkinan, celah itu akan diketahui oleh seluruhnya yang ada di kampus ini..." desis Nicole sembari melepaskan tangan Paris.
  "Baik..tunggu aku sore nanti..." lanjut Nicole dingin, kemudian melangkah lebih dahulu meninggalkan Paris yang hanya diam membisu, menahan sakitnya lengan yang tampak memar akibat cengkraman keras Nicole barusan. "B*tch..!" umpat Paris di ambang batas kesabarannya.

"Paris...kenapa belum pulang?" tiba-tiba terdengar suara yang tak asing lagi. Benar... Aidan. Aidan muncul dari belakang sembari menenteng papan skateboard kesayangannya.

"Ini sudah sepi.. kenapa kau masih berdiri disini sendirian? Mana Chloe?" tanya Aidan lagi yang tampak kepayahan mencangking tas ranselnya yang kelihatan sangat berat.

 "Chloe...jadwal mata kuliahnya sampai sore nanti baru selesai..." jelas Paris dengan tangan kanan yang terkulai lemas karena nyeri yang ia tahan.

 "Oh begitu...eh, daritadi kuperhatikan, kau semakin akrab dengan Nicole?" papar Aidan sumringah. Paris tak menjawab. Ia sedang tak ingin membahas topik yang berkaitan dengan perempuan itu. Bahkan sekarang, Paris benar-benar sangat muak mendengar nama orang itu disebut-sebut.

 "Paris.. tanganmu biru, waw..coba aku lihat..." buru-buru Aidan menyambar tangan Paris, tanpa berpikir apakah itu sakit atau tidak.

  "Sakit, Aidan..!" Paris meringis menahan rasa nyeri yang semakin menjadi-jadi.

 "Ah..benarkah? Maaf..." ujar Aidan tanpa dosa. "Sepertinya itu memar...sebaiknya kau obati itu...kalau tidak, kau akan jadi sulit untuk menulis..." tutur Aidan.

 Mendengar ucapan Aidan, diam-diam Paris menyembunyikan senyumannya. Ia senang Aidan tidak berubah. Aidan tetap seperti yang dulu. Lelaki konyol yang sangat dan benar-benar memperhatikannya. Walaupun sudah 5 tahun tak berjumpa, Aidan ternyata masih menyimpan memori-memori itu. Yah..meski masih terukir luka yang cukup perih yang sempat digoreskan lelaki itu. 
  "Kau punya obatnya?" tanya Aidan dengan mata masih tertuju ke arah lengan Paris.
Paris menggeleng pelan. "Ah..dasar bodoh, ayo ikut aku...biar aku yang mengurusnya..." ajak pria berparas tampan itu menggandeng lengan kiri Paris.
                                                     XOXOXOXOXO
  

  "Heh..ini kan kamarmu..." kata Paris bingung.

"Pintar sekali...bahkan kamarku bersebelahan dengan kamarmu...aku bisa saja mengintipmu kapan saja..." goda Aidan nakal.

"Hentikan bodoh...!" Pipi Paris merona merah, nampaknya ia jadi salah tingkah. "Lantas, apa maksudmu mengajakku kesini? Dengar ya, ayahku melarangku untuk sembarangan masuk ke kamar laki-laki!" Paris mulai mengomel.

"Astaga..aku bukan lelaki yang seperti itu.. Parry.." sanggah Aidan seraya membongkar kotak yang tegantung di dinding kamarnya. "Mana mungkin aku sekejam itu melakukan hal yang seharusnya tak dilakukan kepada anak perempuan sepertimu..." lanjutnya.

Ucapan Aidan sungguh keterlaluan. Kenapa ia selalu saja tahu bagaimana membuat Paris berhenti mengoceh. Seolah Aidan sudah sangat paham tentang seluruh kepribadian Paris yang sebenarnya sangat sulit untuk dimengerti.

"Kau sedang apa?" tanya Paris mencairkan suasana.

"Sudaahh..kau diam saja, lebih baik kau duduk saja disitu..." suruh Aidan masih sibuk dengan kotak kayunya tersebut.

"Mmh..Aidan...bagaimana dengan gadis Rusia itu?" tanya Paris pelan.

"dia sudah meninggal. Tepat saat kau memutuskan untuk pindah ke SMA lain waktu itu..." papar Aidan cuek.

"Lalu...kenapa kau tak mengabariku tentang itu?"

Aidan terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Ia tak ingin berterus terang begitu saja. Sementara ia dan Paris memang sejak lama tak memiliki hubungan khusus lagi. 'Kau tahu...itu karena aku menyayangimu. Aku tak ingin melihatmu lebih hancur lagi, karena ulahku kepada gadis itu' . Aidan terus membatin.
"Nah..sudah dapat..."  Aidan mengalihkan topik  pembicaraan. Digenggamnya botol mungil obat antibiotik ditangannya.
“Ulurkan tanganmu...” perintah Aidan cepat. Paris menurut saja. Lantas, Aidan meraih lengan Paris lalu mengoleskan obat itu dengan kapas lembut miliknya.
“Pelan-pelan!! Kau pikir tanganku ini kayu??!” semprot Paris menahan sakitnya.
Aidan tertawa kecil. “ahahah maaf, aku tak tahu..” ujarnya cengengesan.
“Kau sama sekali tak punya bakat untuk jadi dokter..!” tukas Paris ketus.
“Bodoh...siapa juga yang mau jadi dokter?” Aidan menjitak pelan kepala Paris. “Okeh...sudah selesai...” sambungnya seraya melekatkan plester berwarna coklat muda di bagian memar  itu.
                                                                     XOXOXOXO     

“Knock..knock...”
Terdengar suara ketukan pintu  petang  itu. Paris bangkit dari duduknya, lalu meraih gagang pintu.
Cklek.
Tampak seorang gadis berambut coklat tua dikuncir tinggi sedang berdiri di depan pintu ditemani temannya yang berparas Mexican itu.


“Nicole??” Paris terkejut melihat Nicole memang benar-benar datang.
Well, aku kesini untuk memenuhi janjiku tadi siang...” sahut Nicole lalu menerobos masuk tanpa seizin Paris. Temannya itu pun lantas menuruti ulah Nicole, tanpa memperkenalkan diri kepada Paris sebelumnya.
“Ciih...” Paris berdecak sebal namun tetap tak bisa menghalangi.
“Waw... tak kusangka. Ternyata kamar ini lebih besar dari yang kubayangkan...” puji Nicole sambil mengerjapkan matanya. “Heh...kenapa kamu bisa semudah ini mendapatkan kamar yang nyaman tanpa bersujud-sujud dulu kepada kepala rektor?” tanya Nicole iri.
“Entahlah...” sahut Paris malas.
Tiba-tiba Nicole menepuk keningnya. “Astaga... maafkan aku! Baiklah, perkenalkan..ini temanku, Soledad...”  ujar Nicole menepuk-nepuk bahu gadis berambut merah kecoklatan ikal sepinggang itu.
“Hai...aku tinggal di kamar 59...” sapanya seraya mengulurkan tangannya yang nampak lentik dan panjang.
Paris membalas ulurannya. “Aku Paris...” tutur Paris sedikit sungkan.
Suasana mendadak beku. Tak ada satupun yang angkat bicara usai ‘sesi’ perkenalan itu. Paris pun tampaknya mulai sebal dan singkuh akan kehadiran mereka berdua itu.
“Okay...sepertinya kau punya kamar mandi yang menarik, Pare...!” seru Nicole membuat Soledad dan Paris terhentak.
Cepat-cepat, Nicle memasuki ruangan yang tak terlalu luas itu dan segera menyingkap tirainya. “AHHHHKKK....!!!”
 Sedetik kemudian, Nicole malah berteriak histeris membikin Paris bertambah kaget. Buru-buru Paris berlari menuju kamar mandi itu, disusul oleh Soledad yang tak kalah paniknya.
“ADA APA, NICK??!” jerit Paris cemas. Dengan kecepatan bak kilat yang menyambar, Paris segera mendorong daun pintu itu karena tak sabar untuk memeriksa keadaan Nicole saat itu—yang mungkin sama seperti kejadian di alam mimpinya waktu itu—.
Namun, di luar dugaan. Nicole malah membeku menatap bathtub yang berbaring bisu disitu. “K...kau kenapa?”  tanya Soledad lemas.
 “Kau tahu, aku benar-benar terkejut...” suara Nicole terdengar lirih.
“Ceritakan padaku, apa yang barusan membuatmu berteriak seperti itu??!” tukas Paris campur aduk.
“Bathtub itu...”
“Bathtub? Ada apa dengan bathtub itu?”  Soledad mengalihkan pandangannya ke dalam benda keramik tersebut.
“Bathtub itu indaaahhhh sekali...membuatku ingin berendam..!” seru Nicole cengengesan. Jelas saja, Soledad dan Paris yang tadinya bermuka panik bermetamorfosa dengan raut muka suram menggambarkan kekesalannya terhadap Nicole.
“Kau tampak konyol, Nick!” hardik Soledad geram.
“Ini sama sekali tidak lucu!” desis Paris dengan kadar 100%  rasa muak. Sialan..
Anak itu mulai mengerjai Paris. Percuma saja...Untuk apa mencemaskan gadis yang konyol ini? Bodoh. Pikir Paris jijik.
“Ummh...Paris, aku boleh pinjam handukmu?” pinta Nicole tanpa rasa bersalah.
Paris menghela nafas panjang. Berharap kesabarannya ini masih tetap tersisa untuk gadis gila yang kini sudah berdiri dihadapannya.  “Kau ambil sendiri saja di atas ranjangku...” sahut Paris tak ikhlas.
Paris kembali ke kamarnya. Dengan wajah setengah muram pun, Soledad meninggalkan Nicole di kamar mandi itu. Lantas, melangkah kembali. Menemani Paris yang mulai asyik menonton.
Soledad dan Paris tampaknya mulai meras “nyambung” satu sama lain. Tanpa mempedulikan Nicole, kedua gadis itu sibuk saja menceritakan sinopsis telenovela—yang kebetulan merupakan tontonan favorit mereka—di depan televisi 21inch yang masih menyala.
Tak lama, terdengar suara hantaman keras yang luar biasa. Sepertinya suara itu bersumber dari arah kamar mandi. Apa mungkin itu hanya ulah bodoh Nicole lagi?.
“Paris..kau dengar itu?”  bisik Soledad ketakutan.
“Tentu saja...aku rasa, itu ulah Nicole lagi...” jawab Paris acuh tak acuh seraya melempar remote teve ke sofa.
Soledad menggeleng cepat. “Tidak...! Aku yakin, ada sesuatu yang tidak beres disitu...”. Lagi-lagi Soledad memperlihatkan wajah paniknya dengan jelas.
Namun, Paris hanya melipat tangannya. Mengangkat alisnya sebelah. “Hhh...aku tak sebodoh itu!” Gadis pirang tersebut memalingkan mukanya.
“BRAAAAAAAAAAKKKKHHH...”
Kali ini, dentuman tersebut terdengar lebih keras. “To..tolong aku...” sayup-sayup terdengar rintihan lirih seorang gadis. Yah..itu suara Nicole.
“Paris...! Aku benar-benar yakin...Nicole sedang tidak bercanda...”  Soledad menarik-narik lengan panjang Paris.
Lantas, Paris beringsut dari duduknya. Dengan bosan, Paris melangkah gontai menuju kamar mandi. Lihat saja...kalau kali ini Nicole benar-benar sedang bercanda, tak segan lagi..akan ku tonjok wajahnya! Batin Paris risih.
“Nicole...hentikan aktingmu..!”  bentak Paris dari depan pintu kamar mandi bercorak kehijauan itu.
“Kenapa kau diam saja??”  tanya  Soledad.
“Dasar..” Paris berdecak kesal seraya mendorong pintu kayu itu.
“AAAAAAAAAAHHHKKK...!” Paris memekik dengan suara sekitar 9 oktaf  seketika ia buka pintu teresebut.

~Go to 4th chapter

No comments:

Post a Comment

Welcome to my blog
go to my homepage
Go to homepage