Soledad
benar-benar tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Tangannya tampak
gemetar, namun tetap berusaha untuk mengatup mulutnya yang hampir saja
menganga.
“Paris...”
lirih Soledad dengan suara tertahan.
“Sungguh...!
Aku...aku...” Paris menahan tangisnya. Ia tak sanggup melihat jasad Nicole yang
kini terbujur kaku dengan keadaan yang...tragis
“Paris?
Kau ada di dalam?!” tiba-tiba terdengar suara riuh yang tak lain bersumber dari
kamar Paris. Namun, Paris tak bergeming. Ia masih tampak syok dengan kejadian
yang menimpa Nicole barusan. Mata indahnya pun tak segan lagi mengucurkan
buliran kristal bening yang membaluri kedua pipinya.
“Paris...!”
panggil Chloe panik seraya memasuki areal kamar mandi yang kini sudah bersimbah
penuh cairan darah segar. “OH TUHAN!!! A..ada apa ini...?” Mendadak garis wajah
Chloe berubah pucat pasi. Ia merasakan jantungnya kini memompa lebih hebat dari
sebelumnya.
“Soledad...katakan
padaku...” ucap Chloe dengan bibir bergetar.
“Brengsek!!!”
hardik Soledad, lalu cepat-cepat mengusap sisa-sisa airmatanya. Ia menatap
Paris sebentar dengan sinis, kemudian beranjak pergi entah kemana.
---ooOoo---
Kini
peti mati itu diangkut dengan suasana penuh keheningan. Semua yang hadir serba
mengenakan busana bercorak hitam. Ya..dukacita. Peti mati bertuliskan nama “Nicole S. Brittany dalam
usia 18 tahun” itu akhirnya
dipendam dalam-dalam memenuhi liang di pemakaman itu. Tampaknya Soledad masih
tak bisa merelakan kepulangan sahabat terdekatnya itu. Ia terus terisak,
walaupun Henna berulangkali menenangkannya.
Paris
duduk dibagian belakang. Batinnya tak sanggup menyaksikan semua itu. Walaupun
sebenarnya ia masih merasa kesal, namun perasaan perih itu kini mampu
menggesernya dengan mudah.
“Aku
tahu ini sulit...” Aidan menggeser posisi duduknya. Kemudian, menatap Paris
lekat-lekat.
“Terkadang...sesuatu
yang tak pernah kita harapkan akan terjadi begitu saja tanpa proses...” ujar
Aidan sedikit menggumam.
Paris
tercenung, bukan karena mendengar ucapan Aidan. Sepasang bola matanya nampak
kosong. Ia merasakan ada sesuatu kini menelusup melalui pori-pori kulitnya.
Desiran angin lembut tak hentinya membelai tengkuk Paris. Kini telinganya tak
dapat mendengar apapun. Seluruh panca indranya nampaknya tak berfungsi lagi.
Tatapannya seketika mengabur. Ia tak mampu lagi untuk berbicara, meskipun ia
sudah berusaha sekuat tenaga mengeluarkan lengkingan suaranya.
Ya Tuhan...ada apa ini? Batin Paris
meronta-ronta. Sesuatu sudah mengendalikannya....
Sekarang...Paris
sudah berada di suatu tempat. Ia mengira dirinya baru saja memasuki dimensi
lain. Bukan...ini hanyalah sebuah kampus. Tempat biasa dimana ia menghabiskan
banyak waktunya untuk mendengarkan ocehan-ocehan dosen fakultasnya. Koridor itu
nampak sangat ramai. Ia dapat melihat hilir mudik para mahasiswa dengan sikap
acuh tak acuh begitu saja melewatinya.
“Josh..!”
Paris berusaha menyapa teman barunya itu. Yea, kini Paris sudah dapat bersuara
lagi—ya walau sedikit terdengar menggema. Tunggu...! Josh hanya diam. Ia
sepertinya tidak mendengar sapaan Paris, atau mungkin ia terlalu sibuk dengan makalah
bodohnya itu.
“Joshua!!”
Paris memperkeras suaranya, berharap Josh akan menoleh. Lagi-lagi...Josh hanya
membisu. Entah apakah dia hanya berpura-pura atau mungkin memang benar tak
mendengar teriakan Paris.
Tiba-tiba,
Josh melangkahkan kakinya ke arah Paris. Paris lega, lalu tersenyum ke arah
Pria berambut hitam itu. Anehnya, Josh sama sekali tidak membalas senyuman
Paris sedikitpun. Sempat timbul perasaan jengkel yang luar biasa di dalam hati
Paris.
“Joshu....a”
Paris
terkejut. Jasadnya tampak transparan. Ia dapat mendengar suara-suara disana,
namun orang-orang disana tak dapat mendengarnya. Paris mampu melihat mereka,
namun mereka sama sekali tak menyadari atau tepatnya tak melihat bahwa Paris
berada di antara keramaian itu.
Paris
menghela nafasnya dengan berat. Lalu kembali memperhatikan keadaan sekitar.
Suasana mendadak lebih riuh dari sebelumnya. Raut wajah mereka tampak panik dan
getir. Sebagian dari mereka berlari mengarah ke luar gedung aula. Paris
penasaran. Diikutinya langkah mereka. Langkahnya tersengal-sengal dengan peluh
mengalir melintasi keningnya.
“ADA
SESEORANG MATI TERBUNUH!!!!” tiba-tiba seorang lelaki di antara kerumunan itu
berteriak, membuat kumpulan manusia-manusia itu berteriak histeris.
Paris
tak mau kalah. Dengan didorong rasa penasarannya itu, Paris berhasil menembus
gerombolan orang-orang kampus itu. Namun alhasil...
“CHLOEEE???!!!”
Jantung
Paris berpacu hebat, aliran darahnya seolah semakin deras membuat tubuhnya
kembali menggigil. Matanya mendadak panas. Dilihatnya, Chloerina Yvenz, sahabat
dekatnya dari SMA itu kini mati dengan cara tidak manusiawi.
Jasadnya
tertelungkup dengan bola mata kirinya yang terbalik, sehingga yang terlihat
hanyalah bagian putihnya saja ditambah urat-urat sarafnya yang tak beraturan
lagi. Kepala bagian belakangnya hancur, seakan ada seseorang yang tega
menghantamnya dengan sesuatu yang sangat keras. Lengan kanannya pun terputar
180º
menghadap ke belakang. Wajahnya sudah tak berbentuk lagi. Hampir seluruhnya
tertutup oleh cairan merah amis yang menetes dan nampak masih kental.
“Ada
apa semua ini??!” batin Paris bergejolak. Ia terus melangkah mundur menjauhi
kerumunan masal dan juga tubuh Chloe yang sudah tak bernyawa lagi.
Mundur...mundur...mundur..dan...
Paris
seolah kembali tenggelam. Sesaat ia merasa dirinya berada di ruangan gelap
tanpa udara. Sangat pengap. “Siapapun...tolong aku!! Bantu aku keluar dari sini!!!”
suara Paris terdengar memantul.
“Yang
akan menolongmu hanyalah takdir!” tak lama, terdengar suara desisan perempuan
dalam ruangan gelap itu.
“Siapa
itu?!” bentak Paris penuh waspada. “Cepat katakan kau siapa?!!” Paris
mengulangi pertanyaannya dengan nada lebih tinggi.
“Katakan
kalau kaulah yang sudah membunuh teman-temanku!!” oceh Paris kepada makhluk
yang tak terlihat itu.
PLAASSHHH...
Kembali
lagi. Kini Paris—atau tepatnya, “jiwa” Paris—sudah kembali lagi ke alam dimana
ia lahir. Dunia dimana ia dibesarkan oleh seorang ayah yang overprotektif dan
sangat sensitif dengan keamanannya. Lantas, ia mengedarkan seluruh pandangannya.
Benar, pemakaman Nicole masih berlangsung. Dan ia tahu, Aidan masih duduk
bersebelahan dengannya. Apakah Aidan menyadarinya? Atau... ah sudahlah!
Chloe!
Benar! Apakah ada sesuatu yang buruk akan menimpa diri gadis manis itu? Wajah
Paris kini bertambah kalut. Kedua matanya terus menelusuri dimana gadis itu
berada.
Ah~
dapat. Kini Chloe masih duduk di sebelah Tessa, teman sekampusnya.
“A..Aidan”
Paris mencoba memanggil pria berambut ala spike
itu.
“Ya?”
sahut lelaki itu singkat.
Paris
tersenyum kecil sembari membenahi topi kecilnya yang miring. Melihat tingkah
Paris itu, Aidan jadi salah tingkah sendiri.
“Mmh...ada
sesuatu yang ingin kubicarakan pada Chloe,”
Aidan
membalas senyumannya lantas mengangguk kecil.
--oooOooo—
“Hey..Pembunuh!!!”
seseorang melempari Paris dengan telur usai meninggalkan upacara pemakaman
Nicole.
“Haash...”
Paris menoleh sembari mengusap kepalanya yang dibalur kuning dan putih telur
itu. Chloe yang sedari tadi berada di samping Paris juga turut bterkejut.
“Untuk
apa kau datang kesini? Hah? Dasar pecundang!!” hardik gadis lainnya sinis.
“Bodoh...!
Jangan kau pikir karena statusmu sebagai putri dari seorang superstar terkaya, seenaknya
saja kau berbuat semaumu! Aku tahu, kau membenci Nicole...!” desis gadis yang
diketahui bernama Alexaitu.
Paris
menghela nafasnya dalam-dalam. Namun kali ini, ia—mungkin—bisa mengendalikan
emosinya. Cukup bagi bdebah-bedebah ini, pikirnya.
“Dan
aku tahu, jika kau itu seorang yang tak pernah percaya Tuhan! Kau hanya
memanfaatkan setan-setan brengsekmu itu, hanya untuk melayanimu. Hanya...untuk
membuat hidupmu bahagia. Seperti yang pernah ayahmu lakukan!!!” tuduh Lori
tiba-tiba.
Mendengar
ucapan itu, hati Paris kembali panas. Ia boleh saja mengejek dirinya, namun
tidak untuk ayahnya. “Jangan pernah bawa-bawa nama ayahku!! Dia tak ada
hubungannya dengan semua ini...” bentak Paris geram.
Mereka
tertawa mengejek. Paris hampir saja menangis di hadapan ketiga orang gadis itu.
Tapi tidak...Ia hanya tak ingin memperlihatkan kelemahannya di depan
gadis-gadis sialan itu.
“Be Strong, If You Want A Better World”
Sekali
lagi terngiang-ngiang kata-kata itu.Kata-kata yang pernah bahkan sering
dilontarkan padanya.
“Pa..Paris,
mereka siapa?” tanya Chloe resah.
Paris
tersenyum kecut. “Mereka itu teman-teman Nicole. Alexa, Lori dan Shally...”
bisiknya
“Lalu
mereka....” Chloe jadi ketakutan sendiri.
“Ahh..
sudahlah, tak usah pikirkan apa yang mereka katakan” serentak Paris menarik
lengan Chloe dan segera mengajaknya pergi.
XOXOXOXOXO
Paris merangkul kedua kakinya, lalu menangis
di keheningan malam itu. Ia rindu Michael, ayahnya. Ia ingin pulang. Ia sudah
tak tahan lagi untuk terus dicela dan dikucilkan. Ia rindu Prince, Blanket,
semuanya yang mampu mengusir seluruh rasa getir ini. Ia sangat rindu untuk
berkelahi dengan Prince lagi, kakaknya yang—menurutnya—memiliki kaki yang
besar.
When you’re all alone
Just take my hand
Hold on
Call my name, and i’ll make you strong
Don’t regret to know me
Don’t stay around
Because i’m on your side
To help you, killing for someone...
Di
tengah tangisannya, Paris menangkap sebuah alunan lagu yang sepertinya terbawa
oleh desiran angin malam melalui ventilasi jendela. Paris terhenyak, suara itu
semakin terdengar sangat jelas.
Sangat
jelas dan terdengar begitu misterius. Entah apakah ada seseorang yang sengaja
bernyanyi di tengah malam begini, ataukah...
Dengan
sigap Paris mengehempaskan jauh-jauh pikiran konyolnya itu. Jika bukan manusia
yang bernyanyi, lantas siapa lagi?
Sedetik
kemudian, Paris tersentak kaget mendapati ponselnya yang tiba-tiba
meraung-raung begitu keras. Ia segera mengusap sisa-sisa airmatanya, lalu
beringsut meraih benda mungil itu.
“Halo??”
Paris menyapa seseorang di seberang sana. Tak ada sahutan. Paris hanya dapat
mendengarkan suara desahan lembut disana.
“Halooo?”
Paris mengulanginya. Sialnya, makhluk itu tetap enggan menjawab.
Paris
berdecak sebal, didirupnya nafas dalam-dalam. “Okay, jika kau hanya ingin
bermain-main denganku saja. CUKUP! Silahkan telpon orang lain yang mau
melayanimu, dan kau tahu ini saatnya tidur...” oceh Paris sebal.
Tiba-tiba
terdengar suara gemerisik. Paris sengaja tidak segera menutup telponnya karena
ia sangat mengharapkan respon dari seseorang yang sedang menghubunginya itu.
When you’re all alone
Just take my hand
Hold on
Call my name, and i’ll make you strong
Don’t regret to know me
Don’t stay around
Because i’m on your side
To help you, killing for someone...
“Tuut...tuuut..”
Sambungan
terputus. Glek. Paris tertegun, pikirannya kembali menerawang.
Lagu
itu...
Lagu itu
terputar lagi. Entah kenapa.
Sebenarnya
siapa yang tengah menelpon Paris di malam-malam seperti ini? Lalu apa maksud
dari lagu itu?
“Kreeek...Kreeek...Craasshh!”
Paris
nampak cemas. Suara-suara aneh itu kembali menghantuinya. Dan sialnya, itu berasal
dari kamar mandi lagi. Jangan..jangan kaca itu.
“CRAAASSSSSSSHHH!!”
Tampaknya
kaca itu sepertinya sudah benar-benar hancur beribu keping.
(go to chapter 5th)
No comments:
Post a Comment