Saturday, December 10, 2011

"The Bloody Mirror (Chapter 4th)"


 Soledad benar-benar tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Tangannya tampak gemetar, namun tetap berusaha untuk mengatup mulutnya yang hampir saja menganga.
“Paris...” lirih Soledad dengan suara tertahan.

“Sungguh...! Aku...aku...” Paris menahan tangisnya. Ia tak sanggup melihat jasad Nicole yang kini terbujur kaku dengan keadaan yang...tragis

“Paris? Kau ada di dalam?!” tiba-tiba terdengar suara riuh yang tak lain bersumber dari kamar Paris. Namun, Paris tak bergeming. Ia masih tampak syok dengan kejadian yang menimpa Nicole barusan. Mata indahnya pun tak segan lagi mengucurkan buliran kristal bening yang membaluri kedua pipinya.

“Paris...!” panggil Chloe panik seraya memasuki areal kamar mandi yang kini sudah bersimbah penuh cairan darah segar. “OH TUHAN!!! A..ada apa ini...?” Mendadak garis wajah Chloe berubah pucat pasi. Ia merasakan jantungnya kini memompa lebih hebat dari sebelumnya.

“Soledad...katakan padaku...” ucap Chloe dengan bibir bergetar.

“Brengsek!!!” hardik Soledad, lalu cepat-cepat mengusap sisa-sisa airmatanya. Ia menatap Paris sebentar dengan sinis, kemudian beranjak pergi entah kemana.

                                                                   ---ooOoo---


Kini peti mati itu diangkut dengan suasana penuh keheningan. Semua yang hadir serba mengenakan busana bercorak hitam. Ya..dukacita. Peti mati bertuliskan nama “Nicole S. Brittany dalam usia 18 tahun”  itu akhirnya dipendam dalam-dalam memenuhi liang di pemakaman itu. Tampaknya Soledad masih tak bisa merelakan kepulangan sahabat terdekatnya itu. Ia terus terisak, walaupun Henna berulangkali menenangkannya.

Paris duduk dibagian belakang. Batinnya tak sanggup menyaksikan semua itu. Walaupun sebenarnya ia masih merasa kesal, namun perasaan perih itu kini mampu menggesernya dengan mudah.

“Aku tahu ini sulit...” Aidan menggeser posisi duduknya. Kemudian, menatap Paris lekat-lekat.
“Terkadang...sesuatu yang tak pernah kita harapkan akan terjadi begitu saja tanpa proses...” ujar Aidan sedikit menggumam.

Paris tercenung, bukan karena mendengar ucapan Aidan. Sepasang bola matanya nampak kosong. Ia merasakan ada sesuatu kini menelusup melalui pori-pori kulitnya. Desiran angin lembut tak hentinya membelai tengkuk Paris. Kini telinganya tak dapat mendengar apapun. Seluruh panca indranya nampaknya tak berfungsi lagi. Tatapannya seketika mengabur. Ia tak mampu lagi untuk berbicara, meskipun ia sudah berusaha sekuat tenaga mengeluarkan lengkingan suaranya.
Ya Tuhan...ada apa ini? Batin Paris meronta-ronta. Sesuatu sudah mengendalikannya....

Sekarang...Paris sudah berada di suatu tempat. Ia mengira dirinya baru saja memasuki dimensi lain. Bukan...ini hanyalah sebuah kampus. Tempat biasa dimana ia menghabiskan banyak waktunya untuk mendengarkan ocehan-ocehan dosen fakultasnya. Koridor itu nampak sangat ramai. Ia dapat melihat hilir mudik para mahasiswa dengan sikap acuh tak acuh begitu saja melewatinya. 

“Josh..!” Paris berusaha menyapa teman barunya itu. Yea, kini Paris sudah dapat bersuara lagi—ya walau sedikit terdengar menggema. Tunggu...! Josh hanya diam. Ia sepertinya tidak mendengar sapaan Paris, atau mungkin ia terlalu sibuk dengan makalah bodohnya itu.

“Joshua!!” Paris memperkeras suaranya, berharap Josh akan menoleh. Lagi-lagi...Josh hanya membisu. Entah apakah dia hanya berpura-pura atau mungkin memang benar tak mendengar teriakan Paris.

Tiba-tiba, Josh melangkahkan kakinya ke arah Paris. Paris lega, lalu tersenyum ke arah Pria berambut hitam itu. Anehnya, Josh sama sekali tidak membalas senyuman Paris sedikitpun. Sempat timbul perasaan jengkel yang luar biasa di dalam hati Paris.

“Joshu....a”
Paris terkejut. Jasadnya tampak transparan. Ia dapat mendengar suara-suara disana, namun orang-orang disana tak dapat mendengarnya. Paris mampu melihat mereka, namun mereka sama sekali tak menyadari atau tepatnya tak melihat bahwa Paris berada di antara keramaian itu.
 
Paris menghela nafasnya dengan berat. Lalu kembali memperhatikan keadaan sekitar. Suasana mendadak lebih riuh dari sebelumnya. Raut wajah mereka tampak panik dan getir. Sebagian dari mereka berlari mengarah ke luar gedung aula. Paris penasaran. Diikutinya langkah mereka. Langkahnya tersengal-sengal dengan peluh mengalir melintasi keningnya.

“ADA SESEORANG MATI TERBUNUH!!!!” tiba-tiba seorang lelaki di antara kerumunan itu berteriak, membuat kumpulan manusia-manusia itu berteriak histeris.

Paris tak mau kalah. Dengan didorong rasa penasarannya itu, Paris berhasil menembus gerombolan orang-orang kampus itu. Namun alhasil...

“CHLOEEE???!!!”
Jantung Paris berpacu hebat, aliran darahnya seolah semakin deras membuat tubuhnya kembali menggigil. Matanya mendadak panas. Dilihatnya, Chloerina Yvenz, sahabat dekatnya dari SMA itu kini mati dengan cara tidak manusiawi.

Jasadnya tertelungkup dengan bola mata kirinya yang terbalik, sehingga yang terlihat hanyalah bagian putihnya saja ditambah urat-urat sarafnya yang tak beraturan lagi. Kepala bagian belakangnya hancur, seakan ada seseorang yang tega menghantamnya dengan sesuatu yang sangat keras. Lengan kanannya pun terputar 180º menghadap ke belakang. Wajahnya sudah tak berbentuk lagi. Hampir seluruhnya tertutup oleh cairan merah amis yang menetes dan nampak masih kental.

“Ada apa semua ini??!” batin Paris bergejolak. Ia terus melangkah mundur menjauhi kerumunan masal dan juga tubuh Chloe yang sudah tak bernyawa lagi. Mundur...mundur...mundur..dan...

Paris seolah kembali tenggelam. Sesaat ia merasa dirinya berada di ruangan gelap tanpa udara. Sangat pengap. “Siapapun...tolong aku!! Bantu aku keluar dari sini!!!” suara Paris terdengar memantul.

“Yang akan menolongmu hanyalah takdir!” tak lama, terdengar suara desisan perempuan dalam ruangan gelap itu.

“Siapa itu?!” bentak Paris penuh waspada. “Cepat katakan kau siapa?!!” Paris mengulangi pertanyaannya dengan nada lebih tinggi.

“Katakan kalau kaulah yang sudah membunuh teman-temanku!!” oceh Paris kepada makhluk yang tak terlihat itu.

PLAASSHHH...
Kembali lagi. Kini Paris—atau tepatnya, “jiwa” Paris—sudah kembali lagi ke alam dimana ia lahir. Dunia dimana ia dibesarkan oleh seorang ayah yang overprotektif dan sangat sensitif dengan keamanannya. Lantas, ia mengedarkan seluruh pandangannya. Benar, pemakaman Nicole masih berlangsung. Dan ia tahu, Aidan masih duduk bersebelahan dengannya. Apakah Aidan menyadarinya? Atau... ah sudahlah!

Chloe! Benar! Apakah ada sesuatu yang buruk akan menimpa diri gadis manis itu? Wajah Paris kini bertambah kalut. Kedua matanya terus menelusuri dimana gadis itu berada.
Ah~ dapat. Kini Chloe masih duduk di sebelah Tessa, teman sekampusnya.

“A..Aidan” Paris mencoba memanggil pria berambut ala spike itu.

“Ya?” sahut lelaki itu singkat.

Paris tersenyum kecil sembari membenahi topi kecilnya yang miring. Melihat tingkah Paris itu, Aidan jadi salah tingkah sendiri.
“Mmh...ada sesuatu yang ingin kubicarakan pada Chloe,”

Aidan membalas senyumannya lantas mengangguk kecil.

                                                                    --oooOooo—

“Hey..Pembunuh!!!” seseorang melempari Paris dengan telur usai meninggalkan upacara pemakaman Nicole.

“Haash...” Paris menoleh sembari mengusap kepalanya yang dibalur kuning dan putih telur itu. Chloe yang sedari tadi berada di samping Paris juga turut bterkejut.

“Untuk apa kau datang kesini? Hah? Dasar pecundang!!” hardik gadis lainnya sinis.

“Bodoh...! Jangan kau pikir karena statusmu sebagai putri dari seorang superstar terkaya, seenaknya saja kau berbuat semaumu! Aku tahu, kau membenci Nicole...!” desis gadis yang diketahui bernama Alexaitu.

Paris menghela nafasnya dalam-dalam. Namun kali ini, ia—mungkin—bisa mengendalikan emosinya. Cukup bagi bdebah-bedebah ini, pikirnya.

“Dan aku tahu, jika kau itu seorang yang tak pernah percaya Tuhan! Kau hanya memanfaatkan setan-setan brengsekmu itu, hanya untuk melayanimu. Hanya...untuk membuat hidupmu bahagia. Seperti yang pernah ayahmu lakukan!!!” tuduh Lori tiba-tiba.

Mendengar ucapan itu, hati Paris kembali panas. Ia boleh saja mengejek dirinya, namun tidak untuk ayahnya. “Jangan pernah bawa-bawa nama ayahku!! Dia tak ada hubungannya dengan semua ini...” bentak Paris geram.

Mereka tertawa mengejek. Paris hampir saja menangis di hadapan ketiga orang gadis itu. Tapi tidak...Ia hanya tak ingin memperlihatkan kelemahannya di depan gadis-gadis sialan itu.

“Be Strong, If You Want A Better World”
Sekali lagi terngiang-ngiang kata-kata itu.Kata-kata yang pernah bahkan sering dilontarkan padanya.

“Pa..Paris, mereka siapa?” tanya Chloe resah.

Paris tersenyum kecut. “Mereka itu teman-teman Nicole. Alexa, Lori dan Shally...” bisiknya

“Lalu mereka....” Chloe jadi ketakutan sendiri.

“Ahh.. sudahlah, tak usah pikirkan apa yang mereka katakan” serentak Paris menarik lengan Chloe dan segera mengajaknya pergi.

                                                                         XOXOXOXOXO

 Paris merangkul kedua kakinya, lalu menangis di keheningan malam itu. Ia rindu Michael, ayahnya. Ia ingin pulang. Ia sudah tak tahan lagi untuk terus dicela dan dikucilkan. Ia rindu Prince, Blanket, semuanya yang mampu mengusir seluruh rasa getir ini. Ia sangat rindu untuk berkelahi dengan Prince lagi, kakaknya yang—menurutnya—memiliki kaki yang besar.

When you’re all alone
Just take my hand
Hold on
Call my name, and i’ll make you strong
Don’t regret to know me
Don’t stay around
Because i’m on your side
To help you, killing for someone...

Di tengah tangisannya, Paris menangkap sebuah alunan lagu yang sepertinya terbawa oleh desiran angin malam melalui ventilasi jendela. Paris terhenyak, suara itu semakin terdengar sangat jelas.

Sangat jelas dan terdengar begitu misterius. Entah apakah ada seseorang yang sengaja bernyanyi di tengah malam begini, ataukah...

Dengan sigap Paris mengehempaskan jauh-jauh pikiran konyolnya itu. Jika bukan manusia yang bernyanyi, lantas siapa lagi?

Sedetik kemudian, Paris tersentak kaget mendapati ponselnya yang tiba-tiba meraung-raung begitu keras. Ia segera mengusap sisa-sisa airmatanya, lalu beringsut meraih benda mungil itu.

“Halo??” Paris menyapa seseorang di seberang sana. Tak ada sahutan. Paris hanya dapat mendengarkan suara desahan lembut disana.
“Halooo?” Paris mengulanginya. Sialnya, makhluk itu tetap enggan menjawab.
Paris berdecak sebal, didirupnya nafas dalam-dalam. “Okay, jika kau hanya ingin bermain-main denganku saja. CUKUP! Silahkan telpon orang lain yang mau melayanimu, dan kau tahu ini saatnya tidur...” oceh Paris sebal.

Tiba-tiba terdengar suara gemerisik. Paris sengaja tidak segera menutup telponnya karena ia sangat mengharapkan respon dari seseorang yang sedang menghubunginya itu.


When you’re all alone
Just take my hand
Hold on
Call my name, and i’ll make you strong
Don’t regret to know me
Don’t stay around
Because i’m on your side
To help you, killing for someone...

“Tuut...tuuut..”
Sambungan terputus. Glek. Paris tertegun, pikirannya kembali menerawang.


Lagu itu...
Lagu itu terputar lagi. Entah kenapa.

Sebenarnya siapa yang tengah menelpon Paris di malam-malam seperti ini? Lalu apa maksud dari lagu itu?  

“Kreeek...Kreeek...Craasshh!”
Paris nampak cemas. Suara-suara aneh itu kembali menghantuinya. Dan sialnya, itu berasal dari kamar mandi lagi. Jangan..jangan kaca itu.

“CRAAASSSSSSSHHH!!”
Tampaknya kaca itu sepertinya sudah benar-benar hancur beribu keping.

(go to chapter 5th)

No comments:

Post a Comment

Welcome to my blog
go to my homepage
Go to homepage